Canting Satu Dekade; Sekilas Tentang Para Konservatif

12 Februari 2021.

Canting merayakan satu dekade perjalanan. Aku menyebutnya perjalanan, karena aku pikir ini kata yang tepat untuk mendeskripsikan sebuah gerakan mula-mula yang kemudian bercabang, bernanak-pinak, hidup dan terus tumbuh pada individu-individu yang tetap memegang akar gerakan itu. Agak muskil memang untuk mempercayai bagaimana mungkin sebuah gerakan tanpa individu-individu yang bersamaan pada suatu tempat. Tapi seperti itulah. Bagi Canting, akar gerakan tidak (lagi) mesti dalam satu tempat dan keadaan yang sama. Tidak terlalu berlebihan, Canting mengkultuskan SEMANGAT sebagai akar dan pemicu berbagai gerakan oleh individu-individu di tempat-tempat yang terpisah: Keruwetan Dan Semangat.

Aku sedang ingin merayakan semangat Canting dengan cara membuka sekilas isi kepala mereka. Para konservatif itu, aku menyebutnya demikian yang secara kebetulan tahun ini menurut kalender Cina, 2021 adalah tahun Kerbau logam. Kerbau adalah simbol keuletan, kesuburan, yang dalam pertanian tenaganya digunakan untuk membajak tanah. Dalam adat dan tradisi di daerah-daerah, kerbau banyak dipergunakan dalam ritual-ritual pertanian, perkawinan dan komunikasi kepada Sang Pemberi Kesuburan. Dan dalam perayaan semangat ini, aku ingin sekilas menyebutkan mereka, yang menurutku para konservatif itu luar biasa.

Azis Abdul Ngashim

Ia menyebut dirinya miring. Ternyata itu memang benar. Ia seorang Ngapak, yang mengambil jurusan Geografi pada sebuah perguruan tinggi negeri di Jogja. Sejak mengenalnya, aku pikir ia memang miring. Jika menggambarkan sebuah sungai berarus deras, dimana orang-orang berjalan menyusuri pinggiran berbatu, ia malah meluncur deras di tengah-tengahnya meskipun kadang ia menjadi pesimis, lalu mencoba meraih bebatuan di pinggir sungai. Namun, ia tetap pada arus yang menurutnya menantang. Ia penulis yang baik. Setahuku ia beberapa kali memenangi lomba menulis artikel. Ia seorang tukang protes yang bersemangat. Semangatnya memprotes struktur, pemikiran, status quo yang acak-acakan dalam perkembangan hari-hari ini pada berbagai sudut. Agama, teknologi, bola, pers labil, UMKM bahkan kesehatan, ia protes dengan tulisan dan pemikiran yang segar. Ngashim, pemuda Ngapak ini, seingatku terakhir aku melihatnya Sholat diantara tumpukan buku di kamar kosnya yang pengap. Dari pemuda Ngapak ini, aku belajar bagaimana caranya tertawa ditengah keruwetan. Menurutku ia cocok menjadi redaktur.

Elisabeth Murni

Namanya mengingatkanku pada seorang wanita dalam cerita Alkitab, tatkala aku masih sekolah minggu. Di suatu Sabtu sore beberapa puluh tahun lalu, aku takzim mendengar cerita guru sekolah minggu tentang Elisabeth Sang Ibu Yohanes Pembaptis. Wanita saleh yang mengajarkan untuk tetap percaya tanpa melihat. Tetap percaya sampai mujizat terjadi. Elisabeth Murni, wanita periang dan pandai berkomunikasi. Boleh dibilang ia adalah juru bicara Canting. Ia seorang pendongeng yang menyenangkan. Anak-anak selalu terkesima dengan cerita-ceritanya. Beberapa kali dalam kegiatan bareng anak-anak, seingatku di pengungsian erupsi Merapi, ia mengajarkan kami bernyanyi dan menari bersama anak-anak. Harapan yang begitu tulus. Hampir setiap minggu di Ripungan kami bernyanyi dan menari bersama anak-anak dibawah arahannya. Elisabeth Murni, ia cerdas dan pembawa senyum. Ia seorang penulis dan sudah menerbitkan bukunya sendiri. Jika suatu saat aku bertemu anaknya, Re, aku akan menceritakan betapa ibunya adalah seorang kawan periang yang mempunyai harapan tulus untuk semua orang. Tahun 2014, ketika aku berada bandara, hendak pulang kampung, ia menelponku untuk memastikan bahwa aku memang akan pulang ke Celebes untuk waktu yang lama. Sasha, begitu kami memanggilnya. Darinya aku belajar mengapresiasi perbuatan dan karya orang lain.

Hendra Arkan “Cakil”

Cakil layaknya garam pada suatu masakan. Ia seorang komedian pemecah kekakuan. Tingkahnya kocak namun penuh rasa hormat. Bakatnya beragam, mulai dari guru les matematika, pemain basket sampai tukang sketsa. Pertama kali aku bertemu Cakil, ku pikir dia seorang Lombok atau Madura. Perawakannya cukup tinggi, posturnya atletis, wajar karena ia seorang pemain basket. Dalam Canting, boleh dibilang ia seorang Rook/benteng. Ia selalu bergerak dari apa yang sudah ia yakini. Aku ingat betul, ketika untuk pertama kalinya kami mencoba memproduksi sebuah video dokumenter tentang anak-anak di Ripungan yang akan launching pada peresmian sanggar Studio Biru. Kami nginap di teras Mushala, dengan jadwal pengambilan gambar pagi-pagi sekali saat anak-anak bukit itu turun ke sekolah jalan kaki. Kami agak terlambat bangun dari jadwal yang sudah direncanakan. Ia mengguncang-guncangkan badanku sambil berkata: “paman… paman… tangi! Anak-anak sudah berangkat sekolah.”  Aku melompat bangun dan ia berkata: “Ayo!” Lalu kami terburu-buru mengejar anak-anak itu tanpa cuci muka atau menyikat gigi. Cakil, ia pemberi semangat pada setiap keadaan yang kami lalui dalam Canting. Darinya aku belajar tentang keuletan, semangat dan kepedulian.

Gugun “Tujuh” Junaedi

Mas Gugun, demikian kami memanggilnya. Manusia yang satu ini unik. Ia seperti patung Athena yang ditemukan di tengah keramaian metropolitan. Ia bisa menjadi apa saja di tempat apapun. Perwujudan dari isi kepalanya seperti potongan puzzle yang dihamburkan di atas meja belajar. Potongan-potongan itu sangat berharga, apalagi jika potongan-potongan itu menjadi sebuah rangkaian komplit yang berbentuk. Ia seorang pengagum Gie dan Kamen Rider. Aku kagum sekaligus heran, ia bisa mengenal banyak orang. Mungkin itu disebabkan karena serangkaian perjalanan sufi digitalnya. Aku pikir ia banyak berguru pada orang-orang hebat yang menjadikannya orang hebat. Pengagum kisah petualangan dan film yang kemudian ia ceritakan berulang-ulang kali dalam setiap karyanya. “Sinematografis banget, Gung!” itu kalimat yang selalu aku dengar darinya. Beberapa kali aku mencoba memahami kalimatnya itu, yang pada akhirnya ku ambil kesimpulan: setiap detil pergerakan, kata-kata dan seluruh apapun yang terjadi di kolong langit, mesti diceritakan berulang-ulang kali, berulang kali sampai setiap orang akan menceritakannya berulang kali lagi, seperti dirinya yang selalu menceritakan berulang kali bahwa angka tu7uh adalah angka keramat baginya. Berjubel ide dan kreatifitasnya mengantarkannya memenangi Eagle Award 2018 (Menulis Mimpi Di Atas Ombak). Mas Gugun, dari isi kepalanya aku belajar bagaimana menggunakan segenap kreatifitas untuk mewujudkan ide menjadi karya.

Sigit Prabowo

Pemuda Sumatera ini seorang psikolog yang hobi bersepeda, naik gunung, nonton bola, badminton, futsal, sampai jadi relawan pengantar buku. Sigit memberikan keceriaan pada Canting. Dalam Balada Centhingsari yang ditulis berbalasan, Sigit masuk dalam geng Pandawa. Ia memang cukup usil sesuai karakternya dalam cerita tersebut. Kami melakukan petualangan bersama, menjadi volunteer, penghibur dalam tenda-tenda pengungsian. Hidupnya penuh keceriaan.

Mesha Christina

Gadis Jawa tulen ini orang yang ramah layaknya gambaran gadis Jawa pada umumnya. Tutur katanya lemah-lembut bak seorang penembang macapat ditengah malam bulan purnama. Tapi dibalik keluwesan itu, Mesha seorang penyuka sepak bola. Seingatku, ia penggemar berat Arsenal. Sepertinya ia mengikuti perkembangan dunia persepakbolaan. Menjadi pengamat dan seorang fans yang tertib. Aku sering menanyai Mesha arti beberapa kata dalam Krama Inggil. Tahun 2010 ketika terjadi erupsi Merapi, Canting turun ke tenda-tenda pengungsian mengadakan kegiatan trauma healing untuk anak-anak pengungsi. Mesha ikut dan menjadi bagian yang menyenangkan ketika kami bermain ular-ularan bersama anak-anak di tenda-tenda pengungsian. Ia senang memotret langit dan beragam jajanan pasar khas Jogja. Bertumbuh ditengah budaya yang kental, suasana yang ramah khas Jogja, Mesha terbentuk menjadi pribadi yang Njawani. Dari semuanya itu mengajarkan padaku tentang penghormatan pada tradisi, sikap hormat kepada alam dan menundukan kepala pada hal-hal yang tulen.

Yuladi Zula

Kami menjulukinya Bapak Kepala Sekolah. Yula, pemuda asli Bantul yang menjadi andalan kami dalam petualangan-petualangan. Ia bisa menjadi juru masak dan penunjuk jalan. Dalam beberapa petualangan kami di sepanjang pantai selatan, sering kami kehilangan arah dan cukup kebingungan karena tebing-tebing karang menutupi pandangan kami. Tapi seperti yang sudah ku katakan tadi, Yula selalu bisa diandalkan. “Jalan saja.” katanya, dan kami selalu menemukan jalan seperti katanya. Ia menyukai petualangan, ular dan budaya. Seingatku, ia bekerja di Tembi Rumah Budaya Jogja. Pernah sekali saat kami bersenang-senang menyusuri pantai-pantai Gunung Kidul, Yula, pemuda ini mengenakan setelan batik. Mungkin ia buru-buru pulang kerja dan langsung menyusul rombongan atau memang ia cukup nyaman mengenakan batik dalam petualangan. Tapi Yula memang tidak berubah. Ia giat, penuh semangat membangun apa saja yang menurutnya baik. Aku simpatik kepada pemuda ini. Ia begitu giat dan berani.

Ahmad Amrullah

Ulla, panggilan akrabnya. Kami sama-sama berasal dari bumi Celebes. Karakteristik pemuda-pemuda dari selatan Sulawesi ada pada Ulla; berani, kritis, berbuat. Kawan-kawan Canting sering mengatakan suatu saat nanti ia akan menjadi Gubernur Sulsel. Amin. Dunia petualangan dan hukum adalah jalannya. Pemuda dari selatan Celebes ini merupakan jebolan salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia seorang magister hukum dan pendaki gunung. Kami berdua melengkapi kepingan puzzle Canting. Puzzle dari timur Indonesia. Ide-idenya segar dan luas seperti lautan biru yang ditempuh nenek moyangnya dahulu. Aku pikir ia bisa menjadi andalan dimanapun ia berada sekarang. Cerdas dan pemberani. Ewako!

Ika Maria

Cerdas, cekatan, sana-sini, hilir mudik, lompat, nekat, itulah Ika Maria, si gadis dari Lampung. Pariyem, dia menyebut dirinya dengan nama itu. Petualang dan tukang dongeng. Naik motor pitung, jalan kaki, sepeda, membawanya ke banyak tempat. Ia punya banyak pengalaman dan kisah dari setiap petualangannya. Anak ini tidak takut dengan hal baru, bahkan kadang menurutku ia cukup ceroboh dengan sikap nekatnya itu. Tapi itulah Ika. Selalu mengikuti kata hatinya. Menceburkan dirinya dengan hal-hal yang tidak terduga, lalu ia muncul seperti balon udara. Aku pernah mendengar kisahnya yang ia sebut rumah. Tapi nampaknya rumah baginya bukanlah bangunan yang memiliki dapur atau kamar tidur. Rumah baginya adalah kata hatinya. Ia bisa tinggal dimana saja. Suatu ketika, ia memiliki kembaran. Faa, yang sedang melihat dari kejauhan atau mungkin dari dekat sekali. Mereka seirama dan beriringan dalam keberanian untuk melihat hal-hal baru. Namun, Faa sudah menjalani petualangannya pada kisah yang berbeda. Gadis Lampung ini mengajarkanku untuk selalu berani lalu keluar untuk melihat hal-hal baru.   

Muhayat

Pak Ustad. Panggilan itu memang cocok untuknya. Kadang juga kami memanggilnya mas Mumu. Diantara liarnya ide dan kelakuan anak-anak Canting, mas Mumu yang paling kalem. Sambil menghisap rokok dan meyilangkan kakinya, ia berbicara dengan posisi tengah layaknya seorang bapak yang tengah memberi petuah pada anak-anaknya. Jika dalam kerasnya badai kami mencoba berlindung, mas Mumu orang yang terlebih dahulu membaca doa dalam hatinya. Ketika kami berangkat ke Lampung, hendak menuju pulau Tegal, mas Mumu dan keluarganya menerima kami dengan tangan terbuka. Satu hal yang aku ingat betul sampai detik ini, bagaimana keluarganya menyiapkan kami makanan dan menyuruh kami makan duluan. Setelah itu mereka makan belakangan. Aku tak tahu. Saat itu ada hal yang tidak bisa ku ungkapkan secara jelas. Tetapi yang pasti aku menaruh rasa hormat kepada keluarganya. Ketulusan, rasa hormat, persaudaraan. Aku melihat hal itu di Lampung. Di rumah Pak Ustad.

Rina Tri Lestari

Orang ini muncul tiba-tiba dari balik sarung kotak-kotaknya. Kami tak tahu siapa yang mengutusnya dari Surabaya ke Jogja. Mungkinkah ia termasuk anggota tim pencari kitab suci? Tak ada yang tahu pasti. Ia membawa rasa pedas kedalam Canting. Jika Cakil adalah garam, maka Rina adalah cabe. Menurutku dari pedasnya itu, ia menjadi produktif. Entah buku keberapa yang sudah ia terbitkan. Ia menulis dengan gayanya sendiri: blak-blakan, frontal, penuh humor. Jika aku seorang jendral, maka ku pikir ia cocok dikirim ke garis terdepan dalam perang. Musuh tidak akan menduga serangan apa yang akan dipakainya. Nampaknya jeans dan kaos oblong sangat nyaman baginya. Namun belakangan ini ku lihat ia sering mengenakan rok atau bahkan kebaya. Itulah mengapa aku bertanya, sesungguhnya orang ini diutus oleh siapa ke Jogja. Entahlah. Tapi yang pasti, Rina membawa semangat yang baru kedalam Canting. Menggebu. Lalu ia membakar!

Aziz Safa

Mas Aziz diukir dari batu pualam. Dalam sebuah kerajaan, ia berposisi sebagai penasihat raja. Ia sering terlihat makan siang bersama raja, tapi ia juga sering duduk bersama pengurus kuda di kandang ternak. Mas Aziz pemberi semangat. Ia seperti penjaga nyala lilin ketika anak-anak nakal itu pergi ngepet. Apapun julukanku untuk Mas Aziz, ku rasa ia adalah mentorku. Ia tak perlu berbicara panjang lebar. Ia lebih senang tertawa sambil terus meniup api kedalam dada kami.    

Lina Sophy

Guru dan inspirator dari Cilacap. Mbak Lina Sophy. Mungkin ia dapat membaca, menulis dan  mengajar pada saat bersamaan, atau membuat craft bersama anaknya yang lucu. Menurutku satu hal yang membedakannya dari yang lain adalah sikap gelisahnya. Pertama kali aku melihat Mbak Lina, ku pikir wanita berjilbab ini cocok jadi pemimpin. Sepertinya ia dapat menata sesuatu menjadi lebih rapi, seperti Aristoteles yang membagi-bagi jenis. Manajemennya baik. Dapat diandalkan untuk sebuah inovasi yang berkelanjutan.

Tosse Wibowo

Anak muda dari Palembang. Mas Tosse. Bisa dibilang dia ketua Canting, meskipun Canting memang tak pernah punya seorang ketua. Entrepreneur yang berbakat. Sepertinya, ia dapat berpikir sangat cepat dengan kalkulasi yang tepat. Mas Tosse, seorang tipe penggerak yang humble. Meskipun kadang kami menjulukinya ababil, mungkin itu dikarenakan sifatnya yang amat santai. Ia membangun jaringan, mengorkestrasi, mengalir dan membuat semuanya nampak jadi lebih mudah. Kafenya (Greenz) menjadi basecamp Canting. Di tempat itu kami membahas apa saja. Gerakan, petualangan, relawan, diskusi, buku, tulisan, bola atau sekedar main kartu. Semuanya dimulai dari Greenz Mas Tosse. Menurutku, satu hal yang membuat Mas Tosse nampak menjadi begitu santai menjalani hidupnya adalah keberaniannya mengambil risiko. Apapun itu, semuanya terlihat begitu mudah, santai dan intim. Mungkin ia ingin berkata: “Let it flow, bro!”

Dedy

Dedy memberi warna yang berbeda. Ia penuh semangat. Hidupnya penuh gairah dan tekadnya pada hal-hal kecil yang berarti. Dalam film dokumenter “Anak-anak Hebat di Pulau Tegal” yang diproduksi Canting tahun 2011, Dedy menceritakan pengalamannya berkunjung ke pulau Tegal, Lampung. Ia nampak bersemangat sambil berusaha menahan haru tentang harapannya pada anak-anak di pulau itu. Ia memberi warna pada Canting. Hal-hal kecil yang yang diyakininya akan menjadi besar.

Agnes “Unyil”

Agnes yang termuda dalam Canting. Kami memanggilnya Unyil. Ia lebih banyak mendengar dan sedikit berbicara. Semangat dan keceriaannya selalu nampak ketika kami bermain bersama anak-anak di Studio Biru. Kakak tertuanya adalah Cakil, meskipun kakak aslinya adalah Mesha. Setahuku ia suka sepak bola dan menjadi fans Chelsea FC. Aku tak tahu apakah hal itu memang kesenangannya, atau dipaksa kakaknya agar punya teman berdebat soal sepak bola.

Canting mengukir sejarahnya sendiri dengan caranya sendiri. Satu hal yang aku syukuri adalah bertemu mereka. Satu dekade terlewati. Orang-orang itu ditempah oleh kewarasan. Menjadi penggerak di banyak tempat dengan semangat yang masih tetap sama. Memelihara kewarasan dan melihat lebih jernih jauh kedalam hidup yang tak pernah disangka begitu semarak. Canting adalah semangat. Bergerak dan terus bergerak. Daya hidup yang terus tumbuh dalam dada kita. Dimanapun kalian berada, kalian tetaplah Canting.

Dirgahayu Canting!  

Sosrowijayan; Hujan Di Bulan Merah

Aku ingat betul kejadian hari itu di Adi Sutjipto. Mengantuk dan lelah di kursi bandara. Penerbangan ditunda sampai satu setengah jam kedepan. Burung-burung besi berputar di balik kaca. Memutar mimpi setiap penumpang, begitupun aku. Suasana memanas. Dua deret di kursi depan, serombongan nenek-nenek Tionghoa berdebat soal jawaban teka-teki silang. Hari itu di bulan Oktober, betapa panasnya Jogja. Pandanganku kabur dikelabui fatamorgana. Aku tercenung dibalik kaca. Betapa hari yang panjang di kota ini harus tertunda. Senja yang panjang harus aku simpan untuk sementara, menjadi kenangan di saku hati. Dan akupun mengangkasa.

Awan-awan menenggelamkan penumpang dalam tidur yang pasrah. Untuk kesopanan, aku menyimak seorang pramugari yang sedang memperagakan cara menggunakan sabuk pengaman. Matanya yang lelah hanya tertuju padaku, seakan-akan berkata: “Terima kasih karena tidak mengacuhkanku.” Dan aku menjawab: “Biarkan mereka semua tertidur.” Dengan gerakan yang luwes, ia melepas alat peraga, kemudian berjalan ke arahku.

“Semuanya baik-baik saja?” tanyanya sopan.

Aku mengangguk. Ia berlalu dengan perasaan puas.

Terdengar pengumuman dari pengeras suara, pesawat menambah ketinggian. Semua penumpang nampaknya tidak peduli. Secara bersamaan mereka merapatkan selimut sampai menutupi leher, kemudian berdehem parau. Awan-awan berubah warna ditimpa sinar senja. Hampir maghrib. Dan aku mengeluarkan buku kecil berwarna cokelat tua. Merapat ke kaca jendela, lalu menulis sebuah puisi panjang. Ku kutip saja dua kalimat disini, saking panjangnya.

Disini asing dan sepi

Kubawa diri di jalanan yang sunyi

Tiba-tiba aku berhenti menulis. Aku teringat sebuah surat yang diberikan padaku satu hari sebelum pulang. Pelan-pelan kubuka sepotong surat tanpa amplop itu, penuh perhatian dan kehati-hatian, lalu mulai membacanya dengan khidmat.

Markias..

Sore itu di Sosrowijayan, pertengahan September yang mendung, aku baru saja hendak bersiap tampil. Aku membuka kembali sepotong kertas yang berisi daftar lagu yang akan kunyanyikan sebentar malam.

Come away with me, in the night.

come away with me, and i will write you a song.

Lagu itu adalah lagu pembuka yang akan kunyanyikan malam itu. Dan pada akhirnya lagu itu sebagai lagu terakhir dimana aku melihatmu pergi. Lucu, bukan? Aku sebenarnya tak percaya pada suatu kebetulan. Aku selalu percaya pada planning. Semua pasti direncanakan. Tapi malam itu, keyakinanku mulai goyah. Aku benar-benar menghadapi apa yang dinamakan kebetulan.

Sampai disitu aku berhenti membaca.

September yang mendung. Sosrowijayan, Jogja.

Jalanan lengang, basah. Sepi, sehabis hujan tadi sore. Masih tersisa rintik hujan yang turun pelan-pelan, seperti ditumpahkan tetes demi tetes, dan terkurung dalam lubang-lubang kecil bopeng jalanan. Sepanjang jalan Sosrowijayan, lampu-lampu menyala, adzan maghrib baru saja usai. Cahaya lampu jalan memantul dalam baskom kecil air kubangan. Bias-bias cahaya menjadi bintang ditentang langit. Waktu kemudian terkurung dalam bejana kesunyian, beberapa orang melintas di jalanan menjadi api menyerupai bara. Dan beberapa saat menjadi bara yang kaku. Kesunyian berubah bentuk menjadi asap dupa yang membius malam tanpa hingar-bingar. Hiruk-pikuk hilang tanpa bentuk. Sepi. Beberapa onthel tua terparkir rapi di sepanjang jalan Sosrowijayan. Aku duduk di seberang jalan sebuah kafe. Kafe favoritku pada malam kamis. Aku selalu suka suasana malam kamis disitu. Menikmati live music dari seberang jalan, berbekal sebotol bir yang berisi ciu tengik.

Dalam lamunan yang lucu, pusaran imajinasi ciu tengik, aku tersentak. Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh. Seorang perempuan, setengah menunduk ia berkata:

“Punya korek api?” bibirnya nyaris menyentuh telinga kiriku. Tergopoh-gopoh ku rogoh saku celana dan menyodorkan padanya sekotak korek api kayu agogo. Ia menyalakan korek api dan membakar rokoknya. Sekilas dari cahaya korek api, kulihat matanya yang temaram, setengah tertutup oleh rambutnya yang basah. Ia menggelung rambutnya yang basah kebelakang telinga kirinya yang tanpa anting. Ia menyodorkan korek api dan menawarkan rokok padaku.

“Bawa saja. Aku masih punya satu.” kataku berbohong

“Terima kasih, ya.” katanya sambil berlalu pergi menyeberangi jalan menuju kafe. Ia tampak menggigil. celana jinsnya setengah basah. Di seberang jalan ia menoleh dan mengangkat rokoknya. Mungkin mengucapkan terima kasih sekali lagi. Ia berlalu pergi masuk ke kafe lewat pintu belakang. Ku tenggak ciu tengik dalam-dalam. Hujan masih rintik.

Ku lanjutkan membaca surat.

Dalam tiga tahun terakhir, aku tak punya sesiapapun. Sejak kepulanganku dari Malaysia, beruntung aku mendapat pekerjaan sebagai penyanyi kafe. Di biro pelatihan tenaga kerja wanita, kadang-kadang ku latih mereka bernyanyi atau memainkan alat musik, sambil berkata pada mereka: “Nyanyian terkadang bisa meredam amarah dari segala caci maki tuan rumah. Bernyanyilah dengan tabah.”

Mungkin saat itu mereka tak mengerti apa maksudku. Selepas dari situ mereka dikirimkan ke tempat-tempat kerja di Malaysia. Ada yang jadi tukang jaga nenek-nenek, pelayan restoran, pengerik sisik ikan di swalayan, atau jadi pengepak di penatu. Dari semua pekerjaan itu, yang paling parah adalah berurusan dengan Polisi Diraja Malaysia. Itu pekerjaan yang paling berat. Dan kau pun tahu, aku juga mengalaminya.

Aku terhenti membaca. Penumpang disampingku menggeliat dari tidurnya dan meminta izin untuk menengok ke jendela. Lalu aku berkata: “sudah gelap, bu. Tidak ada yang kelihatan, bahkan lampu-lampu di bawah sana belum tampak.” Ia mengangguk kecewa lalu melanjutkan tidurnya.

Sosrowijayan. Hujan masih rintik. Turis-turis mulai berdatangan masuk ke kafe. Memesan bir lalu mengobrol sambil menunggu malam jazz dibuka dengan basa-basi. Ku tenggak lagi ciu tengik. Menghisap sebatang rokok. Mataku mencari-cari perempuan tadi. Seorang bapak naik ke panggung kecil kafe terbuka itu, Membuka malam itu dengan:

“It’s a cold night. Don’t be sad. Ayo, Marsau, masuklah, hibur kita semua.”

Seorang perempuan naik ke panggung, menghampiri piano. Dengan gerakan yang anggun, ia mengikat rambutnya yang basah, lalu duduk menghadap piano. Ia hanya mengucapkan selamat malam, lalu memainkan tuts piano. Hujan terus rintik. Dan aku dari seberang jalan melihat ia menyanyikan Come away with me-nya Norah.

Come away with me in the night
Come away with me
And I will write you a song

Come away with me on a bus
Come away where they can’t tempt us,

with their lies

And I want to walk with you
On a cloudy day
In fields where the yellow grass grows knee-high
So won’t you try to come

Come away with me and we’ll kiss
On a mountaintop
Come away with me
And I’ll never stop loving you

Ia menutup lagu pertama dimalam kamis itu. Seseorang membawakannya sebotol bir. Ia melihat ke luar, ke arahku, lalu mengangkat botol bir bersama sebuah anggukan. “Cheers!” kataku pelan, sambil menenggak ciu tengik.

***

Ia mengembalikan korek api agogo-ku di bukit bintang. Hari itu awal bulan Oktober dan ia bersikeras bahwa blood moon akan terlihat dari bukit bintang. Aku tak ingin membantahnya meskipun kami sama-sama tahu bahwa bulan merah malam itu hanya terlihat di langit papua.

Pesawat sedikit berguncang karena menabrak awan. Penumpang di sampingku sudah pulas. Ku nyalakan lampu baca:

Markias…

Aku akan terus bernyanyi di Sosrowijayan. Kau ingat kan, kata-kataku? bahwa terkadang nyanyian bisa meredam amarah, bahkan selalu. Aku tak dapat melakukan hal lain selain bernyanyi. Aku ingat betul dulu, saat aku kecil di kampung. Aku adalah gadis kecil yang hebat dalam paduan suara gereja. Tetapi sekarang aku hanya bernyanyi untuk diriku sendiri. polisi diraja malaysia membebaskan mereka dengan jaminan, tak bersalah. Kau tahu, aku menderita berminggu-minggu menahan sakit yang kotor. Bisa kaubayangkan para pemerkosa itu dibebaskan dengan jaminan. Aku tak dapat mengatakan bahwa aku beruntung dapat pulang, mengingat mereka di biro pelatihan setiap kali kulepas mereka pergi dengan nyanyian yang tabah. Entah mereka masuk ke rimba belantara atau firdaus yang agung, aku tak tahu.

Malam itu di bukit bintang, awal Oktober. Di bawah sana Jogja termenung. Lampu dimatikan satu-persatu. Pukul 3 pagi. Ia menyandarkan lehernya di bahu kananku. Lengan kananku melingkarinya. Ia bernyanyi kecil, lalu tertidur begitu saja.

Terasa pesawat merendah dan berputar. Lampu menyala. Melalui pengeras suara, pilot mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Penumpang disebelahku terbangun dan mendongak ke jendela.

“Iya, sebentar lagi akan mendarat, bu.” Kalimat itu tampak membuatnya tenang.

Dalam cahaya lampu kota, ku lihat sungai Telo di bawah sana. Kota yang ramai, padat dan menegangkan.

Ku buka lipatan surat terakhir:

terima kasih, Markias. Aku berjanji akan terus bernyanyi, walau kita sama tahu bulan merah tak ada di langitku. Peluk cium untukmu.

And I want to wake up with the rain
Falling on a tin roof
While I’m safe there in your arms
So all I ask is for you
To come away with me in the night
Come away with me

marsau-

Penumpang turun dengan tertib. Hujan turun di kota itu. Mereka berlarian menaiki bus bandara.

Melihatku hanya berjalan, seorang petugas bandara mendekatiku dengan tergopoh-gopoh.

“Cepat, pak. Bus sudah mau berangkat. Ini sudah hujan!”

“Terima kasih. Tidak perlu. Saya hanya ingin jalan kaki saja.”

Petugas itu memberengut lalu pergi.

Hujan terus turun. Ku lihat ke langit, memang tak tampak bulan merah.

Januari 2021

-pamandori-

Cornelia di Nyeimira

            Pagi itu tak terdengar lagi siulnya. Tak ada secangkir teh panas di meja beranda. Semut-semut berbaris, berjalan mengitari meja beranda, tak terjadi perebutan kristal-kristal gula di bibir gelas. Bukan Cornelia lupa membuatkannya teh. Dia tak pernah lupa hal-hal kecil di dalam rumah. Dia mampu mengingat barang apa saja yang tersimpan di dalam kulkas. Semalam di ranjang, mereka telah bersepakat untuk bercerai. Sama-sama setuju, perceraian adalah jalan keluar dari persoalan rumah tangga. Sebab kata Cornelia, berpisah sementara tak akan membuat hati menjadi dingin dan menyadari segala kesalahan, tanggung jawab yang terlupakan dari seorang istri atau suami. Perceraian jalan satu-satunya, Julius mengamini. Mereka telah berusaha sekuat mungkin, mengenangkan kembali saat-saat bahagia pernikahan mereka. Kasih yang tulus di altar gereja, dipersatukan, dan mereka telah berjanji dengan mantap di hadapan Tuhan; hanya maut yang dapat memisahkan! Tak ada yang lebih indah dari cara berkasih-kasihan para remaja. Kini mereka menyadari, dengan sepenuh hati, bahwa cinta tak dapat dipaksakan. Semalam Julius menangis di bawah bantal, membenamkan wajahnya yang basah oleh air mata, rasa berdosa menghancurkan hatinya. Pelanggaran pada Tuhan, janji yang tak dapat lagi dijaga. Cornelia melirik Julius  dengan ujung matanya yang sembab. Dia tak lagi mengenakan cincin pernikahan. Dengan gerakan yang halus, Cornelia melepas cincin dari jari manisnya.

            Mereka melewati hati-hari yang malas. Setiap pagi dan menjelang tidur adalah bencana. Mana mungkin mereka bermesraan pada waktu-waktu itu. Tak mungkin pula Cornelia menghindari meja makan, manakala Julius duduk manis di sana menyantap semangkuk sup buncis. Taman kecil di belakang rumah adalah tempat kesukaan mereka. Taman firdaus kecil bikinan mereka. Setahun yang lalu mereka mengerjakannya bersama. Mengangkuti tanah, melukis pot bunga, menata rumput-rumput liar. Sebuah pekerjaan yang penuh sukacita, dikerjakan dengan cinta. Dan lihatlah di sana, bebungaan tumbuh, pohon-pohon akasia subur, dan rerumputan hijau segar. Setiap sore mereka berpapasan di sana. Julius memunggungi Cornelia yang sedang asyik mencabuti rumput liar. Begitu Cornelia tahu Julius ada di taman, dia segera beranjak, menghilang di balik pepohonan.

            Sepasang suami istri itu tak lagi mesra. Masing-masing menyembunyikan diri di setiap celah di dalam rumah. Persis permainan petak umpat, jika yang satu terlihat, segeralah yang lain melarikan diri. Kini rumah idaman itu bagaikan kompleks kuburan yang didiami dua mayat hidup. Pada Cornelia, Julius pernah berjanji akan mengecat pagar rumah, membetulkan bebatuan jalan di taman, menambal bak mandi. Tak satupun yang dipenuhinya. Sepanjang waktu dia sempoyongan di sekitar rumah, berjalan tanpa tujuan dan kemudian tidur sepanjang malam. Wajahnya kusam, rambutnya awut-awutan, sama sekali tak menyentuh minyak rambut di kaleng kuning kesukaannya. Lain lagi dengan Cornelia yang selalu tampak segar. Wajahnya bersinar, pakaiannya wangi, seperti putri yang terjebak di ladang anggur. Secara teratur Cornelia menemui lelaki pujaannya, kekasih hatinya yang baru. Dia berselingkuh. Ya, dia berselingkuh. Sekarang dia tak perlu lagi sembunyi-sembunyi , melarikan diri dari kekhawatiran bahwa suaminya akan mencurigainya. Mereka telah bersepakat untuk bercerai. Dan hal itu tak mungkin dibatalkan. Mereka kini sama-sama mengerti, secara sadar paham posisi mereka sebagai suami istri yang tak lagi memiliki perasaan. Tak lagi menyimpan cinta. Cornelia menolak disebut sebagai pengkhianat pernikahan atau iblis yang muncul diantara kesucian pernikahan. Dan Julius paham benar, tak ada lagi cinta di hatinya.

            Suatu siang yang panas, Cornelia melintasi taman belakang rumah dan menghilang cepat dibalik rerimbunan pohon akasia. Dia telah berjanji menemui seorang lelaki. Lelaki yang diyakininya sebagai masa depannya. Tujuannya yang terakhir. Dengan cekatan Cornelia melompati pagar pembatas dan menyusuri pinggiran kali kecil. Nafasnya memburu saat berusaha menghindari semak belukar yang menjebaknya berkali-kali. Setelah melewati kandang sapi milik juragan Der, sampailah dia di sebuah persimpangan jalan. Di sana berdiri seorang lelaki tinggi semampai, menyilangkan kedua belah tangannya. Lelaki itu tampak tenang dan penuh wibawa. Cornelia menghampiri lelaki itu, sambil berharap akan membuat suatu kejutan kecil. Ditubruknya tubuh lelaki itu. Diberikannya sebuah pelukan erat, sangat mesra dan menggoda.

            “Maaf membuatmu menunggu.” Katanya pada lelaki itu. Dia tak melepaskan pelukan untuk beberapa saat. Keringat mengalir di sela-sela kupingnya yang putih kecil. Lelaki itu tersenyum penuh gairah dan memberikan Cornelia sebuah ciuman di dahinya.

            “Mari kita berjalan-jalan.” Dengan sopan si lelaki melepaskan pelukan dan menggapai pinggul Cornelia yang ramping. Dibawanya Cornelia ke sisinya dan mengajaknya berjalan dengan langkah kecil yang berwibawa.

            Udara segar siang itu. Sinar matahari terhalangi rimbunnya pepohonan. Burung-burung Belibis muncul dari balik padang rumput ketika mendengar dua orang yang sedang jatuh cinta itu melintas. Mereka tak membicarakan apapun, hanya melangkah saja, begitu riang, begitu anggun. Cornelia menyandarkan kepalanya pada pundak si lelaki. Sementara pinggulnya diapit sebuah tangan yang kuat dan berbulu. Mereka berjalan saja seperti tidak memikirkan apapun. Jika saudaraku pernah menonton sebuah film yang menggambarkan seorang puteri dan pangeran berjalan di antara rakyatnya, nah, begitulah mereka berdua. Tampak anggun bukan? Penuh percaya diri. Penuh kekuasaan.

            Mereka melintasi jalan sempit yang menjadi pembatas antara dusun Nyeimira dengan kebun-kebun penduduk. Tiba-tiba si lelaki menghentikan langkahnya. Dipalingkan wajahnya pada Cornelia dan berkata:

            “Sungguh tak ada yang lebih indah dari hari ini.”

            Cornelia merenggut leher si lelaki dan memberikannya ciuman yang panjang di sana. Mereka menepi dan duduk di bawah pohon jambon. Angin berdesir membuat sebuah bunyi tatkala menghantam padang rumput. Dari kejauhan tampak sapi-sapi merumput, seperti titik-titik putih dan cokelat yang bergerak-gerak malas.

            “Ya, sungguh indah. Apalagi jika nanti kita dapat bersama selamanya.” Sambut Cornelia sambil menjatuhkan kepalanya di pundak si lelaki.

            “Benar. Seperti tiap-tiap hari ini.”

            “Sepanjang malam, di atas ranjang yang hangat dan disinari cahaya bulan terus-menerus.” Cornelia membuat sebuah pengharapan.

            “Nampaknya itu mustahil.” Sahut si lelaki.

            “Demi Tuhan! Mengapa?” tanya Cornelia.

            “Pada hari-hari seperti ini kita dapat bersama. Tidak sepanjang malam.”

            Cornelia mengangkat kepalanya penuh kesal. Dia menggerutu seperti bocah.

            “Apa maksudmu tidak sepanjang malam?” tanyanya tak percaya.

            Si lelaki melepaskan pandangan, meraup ilalang di sekitarnya, menggosok-gosokkannya. Dia berubah menjadi gelisah. Tampak kegagahannya hilang seketika saat sorot matanya berubah. Tampak seperti sebuah misteri yang tersimpan dan menggugurkan hatinya. Bibirnya bergetar, dia berkata:

            “Sungguh aku mencintaimu. Tapi aku tidak mungkin dapat bersama engkau sepanjang waktu.”

            “Kita dapat melakukannya.” Cegah Cornelia. Dia mulai mendapat firasat buruk.

            “Kau akan menceraikan suamimu?” tanya si lelaki lirih.

            Cornelia mengangguk mantap. Matanya menyiratkan kesanggupan.

            “Kalau begitu tinggalkan aku.” Si lelaki berkata penuh percaya diri.

            Cornelia tak percaya pada kata-kata yang baru saja didengarnya.

            “Tolong jelaskan, mengapa?”

            “Betapa menyakitkan itu. Kau tak akan mengerti perasaan orang-orang yang ditinggalkan. Kau tak paham, sayang.”

            “Lantas apa yang kau harapkan dariku? Mengapa kau rela bersamaku selama ini?” Cornelia melepaskan tubuhnya dari pelukan si lelaki yang mencoba meredamnya.

            “Cornelia sayang, kau tak mengerti akan hal itu. Aku mencintaimu.” Bujuk si lelaki.

            “O, Tuhan, apa yang telah terjadi dengan dirimu? Betapa hina diriku ini. Jawablah, apa kau tak akan bersamaku selamanya? Jawablah.”

            Si lelaki membuang pandangan dan menjatuhkan tengkuknya. Seperti tak berdaya, ia menggeleng.

            Pecahlah tangis Cornelia. Dia berlari melintasi padang rumput. Dia tak lagi peduli pada semak belukar yang menjebaknya berkali-kali. Dia terus bangkit dan berlari. Tubuhnya sempoyongan diterpa angin sore. Nah, begitulah saudaraku, kalau kalian dapat membayangkan seorang puteri yang mendapat malu di tengah-tengah rakyatnya. Seperti seluruh mata rakyatnya telah melihat tubuh telanjang si puteri. Dia mendapat malu yang amat sangat. Si lelaki mematung di sana. Dia tak menyesal telah melakukan hal itu.

            Cornelia mengurung diri dalam kamarnya. Dia telah mendapat malu yang luar biasa. Dalam pikirannya terus berkata: “betapa hinanya diriku ini. Bayangkan, seorang istri yang telah mencintai lelaki lain, tapi apa yang didapatnya. Hinaan belaka. Oh, menjijikan.”

            Esoknya, ketika Cornelia sedang berjalan-jalan di taman belakang rumah, suaminya menghampirinya. Cornelia hendak berlari, menyembunyikan wajahnya yang muram, menutupi matanya yang bengkak karena sepanjang malam dihabiskannya dengan menangis. Tapi dia tak bergerak sedikitpun. Dia tak mampu. Dirasainya sebuah tangan memegang pundaknya. Pelan-pelan dia membalikan tubuhnya. Dilihatnya wajah suaminya yang muram dan rambutnya yang awut-awutan. Suaminya menyodorkan secarik kertas.

            “Tadi ada seorang lelaki menitipkan surat. Katanya ini surat untukmu.”

            Dengan tangan gemetar Cornelia mengambil surat itu. Suaminya beranjak pergi dan menghilang di balik pagar. Setelah memastikan suaminya tak terlihat lagi, pelan-pelan dia membuka surat itu dan mulai membacanya.

            Cornelia sayang, maafkanlah aku. Kau harus mengetahui itu.

            Aku akan menceritakanmu suatu hal. Satu hal terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku. Waktu aku berumur tujuh belas tahun, ayah dan ibuku bercerai. Kau tahu bahwa hal itu sangat memukul batinku. Aku menyaksikan sendiri ibuku berselingkuh. Dia main gila dengan seorang pegawai di peternakan kami. Sampai akhirnya ayahku tahu kejadian itu. Ayahku sangat terpukul. Ayahku menceraikan ibu yang sangat kusayangi. Ibuku menjadi gila dan mengurung dirinya di dalam lumbung padi milik kami. Sampai ibuku meninggal dalam deritanya, aku tak pernah lupa dia berkata padaku: “aku sangat mencintai ayahmu.”

            Cornelia sayang, aku tidak dapat melupakan hal itu. Kau harus tahu bahwa aku mencintaimu. Kau tidak pernah tahu perasaan orang-orang yang ditinggalkan. Mereka menjadi sinting. Demi Tuhan.  

Jangan temui aku di Nyeimira.      

            Bergetar tubuh Cornelia setelah membaca surat itu. Bibirnya terkunci. Dia berjalan sempoyongan mencari-cari pegangan, seperti dirasainya dunia akan runtuh. Beberapa saat dia berusaha menguasai diri, mencoba agar tak jatuh. Menegakkan tubuhnya dan pergi ke jalan. Matanya liar mencari-cari sesuatu di jalanan yang lengang. Sambil melangkah pelan, bibirnya terus berdesis: “Julius, dimanakah engkau? Tolong temui aku.”

            Esok harinya Cornelia kembali ke rumah. Langkahnya berat, terantuk-antuk pada tumitnya yang kaku. Diseretnya tubuhnya ke belakang rumah, meneliti bunga-bunga dan pohon-pohon yang tumbuh disana. Dia masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Dia mungkin ingin beristirahat untuk beberapa lama,  dari segala kekacauan dan kelelahan tubuhnya. Julius tak pernah kembali lagi ke rumah itu. Rumah idaman yang hanya jadi kenangan.

-pamandori

Januari 2021

Ode Penghabisan Untuk Satu dan Seluruh Hari Hujan

Tak ada yang asing dibawah hujan. Bahkan memori.

Kita takkan sanggup menjangkau bahkan merenungi bagaimana Tuhan mencipta hujan. DipilihNya komposisi tanpa paradoks, keraguan, kelabilan, bahkan saat titik-titik hujan menyentuh kulit. Hanya memori yang bangkit, luruh dalam sapuan angin. Betapa terbatasnya pikiran manusia yang seorang itu.

Alkisah, di sebuah negeri kecil hiduplah seorang raja muda. Ia dipuja bak tuhan oleh rakyatnya karena kealiman dan keadilannya mengatur negeri. Sampai datang suatu peristiwa yang menggoncangkan hidupnya. Istrinya sakit keras dan mati dalam keadaan mengandung anak mereka. Sejak saat itu, sang raja muda memerintahkan kepada rakyatnya untuk membangun tembok tinggi mengelilingi negeri mereka. Titah berikutnya: setiap anak laki-laki wajib diajarkan ilmu perang, bahkan anak perempuan yang terlihat kuat dan keras juga diikutkan dalam titah itu. Tak ada satupun yang tahu maksud sang raja muda itu. Semua pandai besi di negeri itu dikumpulkan di halaman istana lalu diperintahkan untuk membuat alat perang dalam waktu tiga tahun. Sungguh tak ada yang mengerti perubahan raja muda itu sejak isterinya meninggal, hanya beberapa kali pegawai istana melihat raja muda itu selalu berlatih pedang setiap kali hujan turun. Setiap kali turun hujan di negeri itu, ia menginspeksi tempat-tempat dimana anak-anak lelaki berlatih perang, begitu juga dengan para penempa besi. Bahkan ia sering telanjang bulat dibawah hujan dan dan berlatih pedang. Ia terlihat begitu serius dan gigih. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Tak satupun yang berani bertanya; ada apa sebenarnya?

Pada tahun ketiga, tembok yang ia perintahkan untuk dibangun sudah rampung; kokoh dan tinggi menjulang. Anak-anak yang berlatih pedang hampir seluruhnya mahir dan tangkas sekarang. Gudang penyimpanan alat perang sudah penuh terisi. Maka sang raja muda mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun-alun istana.

“Hari ini kita akan berdoa bersama meminta agar hujan turun secepatnya. Dan tak ada seorangpun boleh bergeming sampai hujan turun.”

Sang raja muda berdiri di depan rakyatnya, penuh wibawa dan terlihat sangat tenang bagaikan lilin yang tak padam meski diterjang angin. Ia mengenakan jubah perang. Pedang terselip di pinggang kirinya, berkilat dan rupawan. Mereka mulai berdoa sampai tengah malam. Hujan belum juga turun.

Dan tanpa apa dikata, ketika fajar tiba, mendung menggulung di langit, berkumpul tepat di atas kepala mereka. Pagi yang muram di langit. Hujan pun turun. Rakyatnya hanya bisa saling pandang dengan keheranan yang tak dapat dikatakan. Hujan turun seperti dilemparkan dari langit. Sang raja muda menghunus pedangnya, lalu berkata:

“Semua laki-laki pergi ke gudang penyimpanan alat perang. Ambillah dan lengkapi diri kalian dengan jubah perang. Lalu kembali kesini secepatnya”

Hujan turun semakin deras membasahi jubah perang sang raja muda. Namun ia tak gemetar. Hanya matanya menyiratkan kesedihan yang teramat dalam yang hanya ia sendiri dapat memahaminya. Kemudian ia memimpin pasukan itu keluar gerbang. Ia berjalan paling depan; begitu gagah dan penuh hasrat.

Mereka kemudian menyerang kerajaan yang paling dekat yang ada disitu. Mereka pulang dengan kemenangan. Lalu memperluas negeri mereka. Setiap hujan turun di negeri itu, mereka menyerang lagi kerajaan selanjutnya. Begitu seterusnya sampai negeri mereka yang dulu kecil, menjadi negeri besar dengan armada perang yang sangat ditakuti. Ia bukan lagi sang raja muda di negeri kecil. Ia menjadi seorang yang besar; raja yang amat dikagumi dan ditakuti siapapun diseluruh penjuru negeri.

Bertahun-tahun berlalu, ia menjadi tua dan lemah. Suatu kali ia mengumpulkan seluruh rakyatnya.

“Aku sudah tua dan tak lagi kuat. Suatu saat jika tiba ajal menjemputku, kuburlah tubuhku saat hujan turun. Biarlah kisahku ini, seluruh amarah dan kenangan akan kembali ke atas, darimana hujan berasal. Aku tak akan pernah lagi kembali ke sini. Dan tatkala aku sudah tiada dan hujan turun membasahi tanah negeri yang kucintai ini, kenanglah aku layaknya tanah kering yang disirami air hujan.”

Raja itu pun mati. Tubuhnya dikuburkan disebuah tempat yang landai tak jauh dari negeri itu. Rakyatnya mengantarnya dibawah siraman air hujan, tepat seperti apa yang diinginkannya.

Tak ada yang asing dibawah hujan. Bahkan memori.

“Aku pikir aku sedang sekarat, aku rasakan hawa dingin mendekat
dan tahu bahwa dari seluruh hidupku cuma kau yang kutinggalkan:
siang dan malamku yang fana adalah mulutmu,
kulitmu adalah kerajaan yang didirikan oleh ciuman-ciumanku.”
-Pablo Neruda-

-pamandori

Januari 2021

Perang Wulanderi

                1 Oktober 1904. Rooseboom pergi. Digantikan Van Heutsz, pria berkumis bapang yang gemar perang. Hindia Belanda dalam genggaman seorang  penggemar perang. Puh! Seperti yang lain – lain tak akan jauh dari nafsu serakah. Menguasai, menguasai. Merampas, merampas. Senjata hasil peradaban memusnahkan pribumi. Dalih mengamankan wilayah nusantara diagungkan. Sulawesi tak luput darinya. Bone, Luwu, Poso berjatuhan dalam waktu lima bulan saja. Ekspedisi militer dengan tiga ribu personel memaksa petinggi – petinggi tiga kerajaan itu menandatangani korte verklaring (pernyataan pendek) sebagai pengakuan kekuasaan mutlak Hindia Belanda. Kesepakatan penghapusan perbudakan yang dirancang juga oleh penguasa Hindia Belanda, secara langsung dan tak langsung dilanggar. Diinjak – injak sampai hancur lebur. Perbudakan tetap berlangsung sampai pada titik terendah kemanusiaan. Yang lain telah takluk. Kerajaan Mori sasaran selanjutnya. Tahun 1856. Tahun yang buruk bagi ekspedisi pertama Hindia Belanda menaklukan Kerajaan Mori. Tapi perjuangan belum selesai! Meski dinodai dengan penyerahan panglima perang Ensaondau. Rakyat Mori tetap membangkang. Sikap keseluruhan pribumi meski yang lain akhirnya kompromi. Pengkhianat!

                Afdeling Midden-Celebes dibawah Engelenberg1 mengirim surat pada Raja Mori. Isi surat menyatakan agar Raja Mori datang padanya secara langsung di Tambayoli. Maka oleh Raja diutuslah Papa I Nggowo dan Tunu2 untuk menghadap. Rupanya utusan pemerintah kolonial ini tetap menghendaki bertatap muka langsung  dengan Raja Mori. Undangan kedua datang lagi. Jawaban yang sama juga didapatkan dari Raja. Tidak!

                Konflik internal masih melanda Kerajaan Mori, setelah terjadi pemberontakan terhadap raja akibat politik adu domba pemerintah kolonial Hindia Belanda3. Politik adu domba termasuk kekuatan Belanda untuk menguasai Nusantara. Rupanya konflik internal ini dimanfaatkan pemerintah kolonial untuk mengetahui seluk beluk kerajaan Mori. Maengkom4, utusan asisten residen Engelenberg datang menemui Raja Mori di lobo balai pertemuan.

                “ Terima kasih atas kesediaan Yang Mulia untuk menerima kedatangan kami” ucap Maengkom bermanis – manis. Raja tampak mengangguk – angguk sambil membenarkan letak Mokoranga5 yang terselip pada pinggang kirinya. Melihat itu Maengkom ciut.

                “Rupanya tuan mempunyai sesuatu urusan yang penting hingga telah dua kali mengundang saya untuk hadir menemui asisten residen di Tambayoli” ucap Raja, melihat sikap Maengkom yang masih bermanis – manis dihadapannya. “Apakah orang yang saya utus belum dapat memuaskan undangan tuan?” tanya Raja. Mendehem.

                “Asisten residen tuan Elenberg ingin langsung bertemu dengan Yang Mulia” jawab Maengkom hati – hati.

                “Kalau begitu kenapa tuan Elenberg tidak datang bersama tuan?” tetak raja.

                Mendengar pertanyaan itu Maengkom tambah ciut dan memutar otak mencari jawaban. Kemudian terburu – buru menjawab :

                “Tuan Elenberg sedang mengurus sesuatu yang juga penting, Yang Mulia. Tuan Elenberg berpesan agar menanyakan perihal konflik internal yang sedang terjadi di Kerajaan Yang Mulia”

                “Rupanya tuan Elenberg mempunyai perhatian dengan daerah kami. Memang benar telah terjadi pemberontakan dalam daerah kerajaan” terang raja.

                “Apakah belum dapat diselesaikan, Yang Mulia?” Tanya Maengkom bernafsu

                “Sampai saat ini belum. Meskipun usaha – usaha perdamaian telah ditempuh oleh kerajaan” lanjut raja.

                Maengkom manggut – manggut. Dalam hati dia berkata: “Kena kau raja Mori! Kau sudah masuk perangkapku!. Maengkom terus berusaha menarik perhatian raja Mori agar menceritakan segala persoalan dalam kerajaan yang sebenarnya bagian dari siasat pemerintah kolonial untuk memecah – belah kerajaan Mori. Pada akhirnya dapat memuaskan nafsu kolonial untuk menguasai daerah Mori yang sampai saat ini belum takluk.

                “Sebenarnya konflik telah padam, namun benih – benih pemberontakan itu masih ada”

                “Bagaimana Yang Mulia dapat mengetahui itu?” Tanya Maengkom kembali bernafsu

                “ Maa masih terus bergiat menghasut para pemberontak agar terus memusuhi kerajaan” jelas raja. Dan Maengkom tersenyum dalam hati melihat peluang untuk menjadi penengah makin terbuka lebar.

                “Kalau Yang Mulia bersedia, saya bisa antarkan Yang Mulia menghadap pada pihak pemerintah di Poso untuk menyelesaikan persoalan ini.” Tawar Maengkom.

                “Terima kasih. Saya sudah bertekad untuk menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan” tegas raja

                “Baiklah kalau begitu Yang Mulia. Selain itu tuan Elenberg memohon kepada Yang Mulia agar melarang kebiasaan mengayau”

                “Saya memang sudah berencana melarang kebiasaan ini, tetapi tuan sendiri ketahui bahwa para pemberontak tidak dapat saya pastikan mematuhi perintah ini” jelas raja

                “Baik Yang Mulia. Saya juga akan menguhubungi pihak pemerintah di Poso agar membantu Yang Mulia menyelesaiakan konflik ini. Terima kasih Yang Mulia, saya pulang sekarang” Maengkom berdiri dan melanjutkan perjalanan ke Mori Atas. Sebelumnya maengkom juga memohon kepada raja agar diberikan data tentang rincian laki – laki potensial yang ada di sejumlah kelompok kaum dalam kerajaan Mori. Raja Mori meluluskan permintaan itu dengan berani meskipun dia sendiri sadar bahwa cukup berbahaya, sehingga oleh musuh dapat diketahui sejauh mana kekuatan kerajaan dalam menghadapi serangan penaklukan. Maengkom merasa puas dengan apa yang dia dapatkan, tinggal menunggu waktu saja kapan kerajaan Mori dapat ditaklukan.

***

                Maengkom pulang membawa hasil gemilang. Sepanjang perjalanan dia membayangkan suatu waktu akan mendapatkan posisi yang terhormat di pemerintahan berkat hasil yang didapatkan hari ini. Elenberg bergerak. Maka diutuslah  Voskuil dan Nayoan, tak lupa satu peleton pasukan militer mengiringi kedua wakil pemerintah kolonial itu. Tampil sebagai pahlawan “pendamai”, warisan leluhur kolonial jahat. Kampung Wawonbau menjadi tujuan. Kampung yang menyatakan diri berpihak pada pemerintah kolonial atas hasutan Maa, kaki tangan kolonial juga!

                Raja Mori diundang datang ke Wawonbau. Maka terjadilah suatu kesepakatan damai antara raja dan pemberontak. Raja Mori lega. Tapi dibalik kelegaan itu, ada sebuah mata jahat sedang memandang yaitu mata kolonial. Dalam kesepakatan damai itu, bukan hanya terdapat satu butir saja tentang perdamaian. Tetapi butir lainnya merupakan pengesahan masuknya kolonial ke dalam wilayah kerajaan. Maka tercapailah hasrat untuk sedikit demi sedikit menumbangkan kerajaan Mori. Hasil kesepakatan dilaksanakan. Perkantoran dan perumahan pemerintah Hindia Belanda dibangun di Kolonodale. Rakyat Mori dikerahkan membangun jalur transportasi, jalan sepanjang 100 km. Awal Mei tahun 1907, satu peleton pasukan militer datang. Misi penaklukan mulai dilakukan. Awalnya hanya mengawasi jalannya pemerintahan di Kerajaan Mori yang masih berdaulat penuh. Kemudian timbulah perlawanan rakyat. Mereka menolak melanjutkan pekerjaan pembuatan jalan raya. Bagaimana tidak, rakyat Mori adalah petani yang membutuhkan kerja di sawah dan ladangnya sendiri buat makan sehari – hari. Mereka dipaksa meninggalkan sawah dan ladang buat turun memeras keringat membuka jalan. Baik, rakyat Mori turun memeras keringat membuat jalan. Tetapi apa yang didapatkan? Perlakuan kasar dan tindakan tidak manusiawi layaknya watak kolonial bergerak. Rakyat ditindas. Diteriaki kata: Malas! Rakyat tidak mau bekerja sebagai tindakan protes. Pemerintah Kolonial di Kolonodale berang bukan kepalang. Pasukan militer bergerak ke istana kerajaan, hendak memaksa raja agar memerintahkan rakyatnya kembali bekerja. Dengan langkah tergesa – gesa karena berang, sampailah ke istana. Tetapi kosong. Raja tak ditempat.

                “Raja!” Teriak Letda Kies sang pemimpin pasukan

                “Geledah isi istana!” perintah Kies pada pasukan

                “Kosong, tuan” lapor salah seorang pasukan

Sang pemimpin berang. Setelah mondar – mandir di dalam istana, kemudian dari mulutnya keluar perintah:

                “Bongkar istana ini!”

Maka perintah dilaksanakan. Istana diporak – porandakan. Barang – barang yang dianggap berharga dibawa pulang. Penduduk daerah sekitar istana lari ke hutan menyelamatkan diri. Secepat mungkin menyampaikan kepada raja yang saat itu sedang berada di Mori atas. Setelah mendengar laporan, saat itu juga raja kembali ke istana. Barangkali pasukan KNIL masih di tempat. Namun sudah tiada, yang ada hanya istana yang porak – poranda. Raja murka.

Segera raja mengumpulkan pejabat kerajaan. Satu hasil bulat didapatkan yaitu: melawan! Penghinaan atas kemerdekaan kerajaan adalah penghinaan yang besar dan rendah. Terlebih dari itu, kolonial telah memperlakukan rakyat Mori layaknya budak rendah. Perlakuan tidak manusiawi pantas untuk dibalas. Perang! Seru raja menggema di dalam istana. Strategi pembalasan segera dicapai. Semua laki – laki potensial dikumpulkan. Seorang satu terselip parang pada pinggang yang ditutupi sarung. Langkah pertama raja menyerukan pada seluruh rakyat Mori agar secara total menghentikan pekerjaan pembuatan jalan. Berharap pasukan kolonial datang untuk kedua kalinya ke istana. Dan benar saja, tak lama datang seorang tionghoa memasuki istana.

“Yang Mulia, pasukan kolonial akan segera menuju istana” terang  Lie Ting Ang, seorang pedagang sekaligus juru bicara untuk menyampaikan perintah – perintah yang dititahkan pemerintah kolonial pada kerajaan Mori.

“Baik. Sampaikan kepada mereka, raja menerima dengan senang hati. Dan kau boleh pulang” jawab raja.     

                Minggu pertama bulan Juli 1907 terdengar kabar kedatangan pasukan kolonial dibawah pimpinan seorang perwira; Matthes. Matthes berangkat dari Kolonodale bersama pasukan KNIL satu peleton yang beranggotakan tujuhbelas tentara. Sementara itu di istana, raja sudah mengumpulkan seluruh laki – laki potensial. Sesuai strategi yang telah disepakati, seluruh rakyat mori harus menyambut kedatangan Matthes dengan ramah, jangan sampai menimbulkan kecuriagaan yang berakibat kegagalan rencana. Raja berdiri di depan para pejabat kerajaan dan laki – laki potensial yang sudah berkumpul di dalam istana.

                “Apa semua sudah paham dengan rencana kita?” Tanya raja pada semua

Semua yang ada di situ menegakkan kepala. Tak satu pun berbicara, tanda bahwa semuanya telah paham. Raja berjalan menuju ke tengah – tengah rakyatnya.

                “Baik. Saya akan ulangi apa yang menjadi rencana kita” kata raja sambil memperhatikan satu demi satu mereka semua. “Yang pertama, kita semua harus bersikap ramah menerima kedatangan pasukan dari Kolonodale. Kita adakan pesta penyambutan yang besar. Yang kedua, pekerjaan pembuatan jalan yang kita hentikan akan mendapat protes dari pihak kolonial di Kolonodale, maka seluruh laki – laki siap untuk didata kembali. Dan jangan sampai lupa, parang kalian tutup dengan sarung. Jangan menimbulkan kecurigaan pasukan kolonial.” raja memperingatkan sambil menghampiri satu per satu laki – laki yang telah berkumpul. Juga satu per satu ditepuk pada pundaknya dan mengangguk.

                                “Yang terakhir” raja melanjutkan. “Serangan akan dimulai setelah ada pekikan hio! Jangan sampai melakukan penyerangan yang gegabah!”

Raja kembali ke depan. Mengangkat mokoranga dari pinggangnya dan berseru: hidup rakyat Mori! Kemudian disambut pekikan seluruhnya.

***

                Menjelang tengah hari tampak pasukan Matthes memasuki istana. Raja keluar untuk menyambut mereka.

                “Silahkan masuk tuan” kata raja kepada salah seorang dari mereka yang berdiri paling depan. Pria Belanda itu berpostur tegap dan kekar. Sebuah pistol terselip pada pinggangnya. Matthes, ya pria itu adalah Matthes pimpinan pasukan. Matthes berjalan mendahului raja memasuki ruang istana. Dengan langkah tegap dan angkuh, matanya menyapu seisi istana. Matthes mengambil tempat duduk di samping raja.

                “Tuan, rakyat anda telah melawan pemerintah. Menghentikan pekerjaan pembuatan jalan adalah melanggar kesepakatan kita.” Matthes memulai pembicaraan.

                “Rakyat Mori sepenuhnya mematuhi perjanjian. Pekerjaan terhambat karena penyakit sampar merebak, tuan” jawab raja. Beberapa minggu setelah dimulai pembuatan jalan memang penyakit sampar menyerang penduduk. Tapi segera reda. Raja mengaitkan penyakit sampar sebagai penyebab pemogokan pekerjaan pembuatan jalan agar tidak memancing kecurigaan pihak kolonial di Kolonodale.

                “Tapi saya akan segera mendata kembali penduduk untuk melanjutkan pekerjaan” lanjut raja. Matthes tampak puas kemudian mengangguk dan melanjutkan :

                “Baik tuan. Saya harap segera dilaksanakan, agar selesai dalam bulan ini juga.”

                “Kau kopral” tunjuk Matthes pada seorang diantara pasukan “Kau dan sebelas lainnya tinggal di sini. Kau pimpinannya.” Perintah Matthes. Matthes berpamitan pada raja dan kemudian melanjutkan perjalanan bersama sisa pasukan ke Mori Atas. Pertemuan dengan raja Mori menjadi kekuatan Matthes untuk dapat memerintahkan kepada semua pimpinan kelompok kaum agar datang ke Kolonodale dan menyatakan tunduk pada pemerintah kolonial. Semua urusan dirasai Matthes telah selesai dengan hasil gemilang. Sebentar lagi para pimpinan kaum dalam kerajaan Mori datang menyatakan kesetiaan pada kolonial. Dalam perjalanan pulang, Matthes dan pasukannya bertemu dengan Letda Kies yang juga bersama pasukannya yang memporak-porandakan istana raja Mori. Seperti pesan raja kepada seluruh rakyat Mori agar menyambut dengan ramah setiap kedatangan pasukan kolonial, maka karena keramahan itulah Matthes bersedia menerima ajakan kepala kampung untuk menginap di kampung Ranoitole.

                19 Juli 1907. Pagi itu di halaman istana tampak ramai. Para laki-laki sudah berkumpul untuk didata kembali buat kerja rodi. Melanjutkan pekerjaan pembuatan jalan. Pekerjaan yang membuat rakyat Mori tambah geram pada pihak kolonial. Raja Mori tampil ke tengah – tengah seraya menghunus parang Mokoranga dengan lantang berteriak memekik :hio!  Saat itu juga semua laki – laki menghunus parang dan mulai menebas satu per satu pasukan KNIL yang sedang sibuk mendata. Genderang ditabuh bertalu-talu. Tak ada yang luput dari parang rakyat Mori.

                “Jangan.. Tolong..!” tiba-tiba seorang berteriak. Seorang putra raja melompat mendekat ke arah suara itu berasal. Seorang laki-laki tionghoa sedang terkapar, dan seorang laki-laki Mori bersiap menebas kepala si tionghoa itu.

                “Jangan, jangan bunuh dia!” teriak putra raja Mori

                “Dia mau meloloskan diri, tuan”

                “Dia tidak terlibat dalam hal ini. Tidak ada sangkut pautnya dengan dia.”

                “Nanti dia akan beritahu pada pasukan lain”

                “Baik. Tahan dia” perintah putra raja

Laki – laki tionghoa tersebut adalah Lie Ting Ang. Raja Mori berdiri di tengah rakyatnya, mengangkat parang tinggi-tinggi dan berseru: Hidup rakyat Mori!

                “Hidup rakyat Mori!” pekik seluruhnya

Para perempuan yang sedang sibuk memasak ramai-ramai berlari keluar. Memekikan berkali-kali: Hidup rakyat Mori!

Dua hari berselang setelah kejadian di istana, dibawah pimpinan raja Mori para lelaki Mori berangkat pagi – pagi sekali. Kali ini menuju kampung Ranoitole, tempat sisa pasukan KNIL dibawah pimpinan Matthes juga Letda Kies. Dalam perjalanan mereka bernyanyi bersahut – sahutan. Satu tekad yang ada di dada masing – masing adalah: melenyapkan kolonial dari tanah Mori. Tanah yang merdeka itu tak sudi diambil alih secara serakah oleh kolonial jahat. Menjelang tengah hari sampailah mereka di ujung kampung. Sesuai rencana, kepala kampung Ranoitole akan segera menjemput. Tak lama yang ditunggu akhirnya muncul.

“Yang Mulia. Para prajurit KNIL sedang sibuk mendata penduduk” lapor kepala kampung pada raja Mori.

“Letda Kies dan Matthes juga di situ?” Tanya raja

“Mereka juga ikut mengawasi pendataan”jawab kepala kampung

“Baik. Sampaikan pada Matthes, ada banyak penduduk yang datang untuk didata di sini. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan, hati – hati” pesan raja

“Baik. Saya langsung menuju ke sana”kepala kampung berlari menuju ke dalam kampung

“Semua sudah siap?”raja bertanya pada pasukannya

“Siap!”jawab mereka serempak

Kepala kampung menemui Matthes yang sedang duduk di bawah pohon. Bersama Letda Kies di situ.

“Tuan. Para penduduk sedang menuju kemari untuk didata”kata kepala kampung

“Penduduk dari mana?” Tanya Matthes yang nampak curiga kenapa tiba – tiba ada penduduk secara sukarela datang untuk didata, padahal sebelumnya mereka menolak melanjutkan pekerejaan membuat jalan.

“Mereka penduduk yang menghuni daerah istana” jawab kepala kampung

“Bukankah dua hari yang lalu mereka sudah didata?” Matthes berbalik pada Letda Kies yang sedang sibuk mencabuti kumis.

“sebagian tidak sempat didata karena mereka tinggal agak jauh dari istana” buru – buru kepala kampung menjelaskan dengan sangat hati – hati.

“Baik kalau begitu. Suruh mereka ke sini. Tapi, rumah itu terlalu sempit untuk menampung yang baru datang” Kies kini buka mulut. Matthes mengangguk.

“Di ujung kampung ada rumah penduduk yang cukup luas untuk menampung, tuan” tawar kepala kampung

“Baik. Suruh mereka semua pindah, Letnan” perintah Matthes pada Letda Kies. Letda Kies beranjak menuju tempat pendataan setelah sebelumnya mengangkat hormat pada Matthes.

“Kepala kampung, cepat panggil semua penduduk yang baru datang itu” perintah Matthes pada kepala kampung. Yang diperintah langsung berbalik tanpa menghormat menuju pasukan raja. Tak lama berselang muncul raja dan beberapa orang.

“Rupanya tuan ikut serta” seru Matthes pada raja Mori

“Betul tuan. Saya yang menuntun mereka ke sini” balas raja

Kini raja dan pasukannya telah bergabung dengan penduduk Ranoitole. Jumlah mereka bertambah dan semakin mempermudah melancarkan serangan. Dalam perjalanan menuju rumah di ujung kampung, raja sengaja mengambil posisi tepat di samping Matthes. Tepat di tengah perkampungan, raja menghunus parang dan berseru keras: hio! Para pasukan KNIL sontak kaget. Pada saat itu juga raja memulai menebas kepala Matthes hingga jatuh ke tanah. Para laki – laki Mori juga melompat dan memekik berkali – kali: hio! Seorang satu dengan cepat mendekat pada prajurit KNIL dan menebas. Pasukan KNIL melakukan perlawanan, tetapi sia – sia. Laki – laki Mori lebih banyak dan juga sangat mahir memainkan parang. Pasukan KNIL tumpas dalam beberapa menit saja.

“Satu orang lolos!”  teriak kepala kampung dan langsung berlari mengejar. Tak lama kemudian kepala kampung kembali

“Dia lolos” kata kepala kampung sedikit kecewa

“TIdak apa – apa. Pasti dia akan memberitahukan pada wakil kolonial di Kolonodale”kata raja

“Mereka pasti akan datang membalas dengan pasukan yang banyak” kata seorang laki – laki

“Kau takut?” Tanya raja pada laki – laki itu

“Tidak!” jawabnya

“Ini baru awal. Akan ada perang lebih besar. Siapa yang mau berperang mempertahankan Mori bersamaku?” pekik raja

“Hio!” pekik semua yang ada di situ sambil mengangkat parang. Menjelang matahari terbenam, nyanyian kemenangan masih terdengar diiringi genderang bertalu – talu.

Benar saja, kejadian yang baru saja terjadi di Ranoitole segera hinggap di kuping wakil pemerintah kolonial di Kolonodale. Seorang strapan yang luput dari pengejaran kepala kampung adalah menjadi pembawa berita. Pihak kolonial di Kolonodale ikut bersiaga, kira – kira saja pasukan Mori juga akan menyerang langsung ke Kolonodale. Pihak kontrolir di Poso dan asisten residen di Donggala segera diberitahu kemungkinan penyerangan itu. Bahkan di Manado dan pihak pusat kolonial di Batavia juga tak luput dari berita ini.

***

Kolonial gerah. Tiga brigade marsose segera dipersiapkan untuk melakukan penyerangan. Kali ini pihak kolonial benar – benar bernafsu menaklukan kerajaan Mori, setelah ekspedisi pertama tahun 1856 gagal. Tiga brigade marsose yang dikirim seluruhnya berjumlah 54 personil dibawah pimpinan Kapten Krapers. Pasukan ini merupakan pasukan elit kolonial. Dalam tubuh marsose sebagian besar terdapat orang – orang pribumi yang kebanyakan berasal dari Ambon dan Jawa. Entahlah bagaimana cara picik kolonial menggunakan tangan pribumi sendiri untuk memusnahkan pribumi lainnya.

3 Agustus 1907. Pasukan marsose tiba di Bungintimbe. Dengan nafsu yang menggebu – gebu hendak menyerang langsung ke pusat kerajaan Mori. Tapi sisa pasukan kolonial yang masih berdiam di Kolonodale memberitahu bahwa benteng pertahanan kerajaan berpindah ke Wulanderi. Sesuai strategi, Wulanderi dijadikan benteng pertahanan terakhir. Hal ini disebabkan karena Matandau dipandang tidak strategis dan sudah diketahui pihak kolonial karena mereka berulang kali bolak – balik di Matandau. Sisa pasukan kolonial di Kolonodale tidak tahu persis di mana letak benteng Wulanderi. Sehingga mereka berpikir keras bagaiamana caranya agar dapat mendapatkan informasi letak Wulanderi. Ditengah kebuntuan itu, terbersit sebuah ide untuk memanfaatkan salah seorang kerabat kerajaan yang diketahui berkompromi dengan pihak kolonial. Maka pasukan marsose bergerak ke arah Ngusumbatu, tempat orang yang dicari itu bertempat. Ketika tiba di Ngusumbatu, orang yang dicari tidak ada di tempat. Informasi yang didapatkan bahwa dia telah mengungsi. Kapten Krapers marah, kemudian memerintahkan pada pejabat Ngusumbatu agar segera memanggil pimpinan mereka itu. Tak lama berselang, datanglah sang pimpinan Ngusumbatu yang berkompromi dengan kolonial itu.

“Kibarkan bendera putih, segera!” perintah Krapres. Tanda bendera putih berarti suatu pernyataan menyerah dan takluk pada kolonial.

“Antarkan kami menuju Wulanderi, tuan” permintaan sekaligus perintah Krapers pada pimpinan Ngusumbatu.

“Tidak harus saya, tuan. Saya bisa perintahkan yang lain” jawab pimpinan Ngusumbatu

“Kau yang mendapat perintah! Bukan yang memerintah!” bentak Krapers

“Baik, tuan” jawab pimpinan Ngusumabtu. Dalam hatinya bergejolak rasa yang tak menentu, dia takut dituduh sebagai pengkhianat kerajaan. Sehingga otaknya terus berputar mencari jalan keluar

“Ayo! Kita jalan sekarang” perintah Krapers

Sesuai perintah Kapten Krapers agar mencari jalan lain tanpa melewati benteng Paantobu, Krapers khawatir pertarungan di Paantobu bakal mengurangi jumlah pasukannya sebelum sampai di Wulanderi. Ternyata benteng pelindung Wulanderi bukan hanya di Paantobu saja. Benteng Duake termasuk diantara benteng pelindung lain.

16 Agustus 1907. Dalam perjalanan, sang penunjuk jalan pimpinan Ngusumabtu terserang penyakit. Penyakit apa? Juga tak jelas. Krapers memerintahkan agar dia pulang saja ke Ngusumbatu. Krapers beranggapan bahwa dia sudah tidak diperlukan lagi, karena masih ada seorang lagi yang tinggal sebagai penunjuk jalan. Tiba di benteng Duake, rakyat Mori di tempat itu melakukan penyerangan mendadak. Mereka tumpah ruah ke jalan dan langsung menyerang pasukan marsose. Tapi Marsose sudah terlatih, meskipun dengan susah payah akhirnya rakyat Mori di Duake dapat ditaklukan. Benteng Duake dibumi hanguskan. Asap, api mulai naik memenuhi Duake. Hal ini sengaja dilakukan marsose agar terlihat oleh pasukan di Wulanderi bahwa Duake telah takluk. Segera dikirim pengintai untuk melihat seperti apa persiapan di Wulanderi. Informasi didapatkan bahwa benteng Wulanderi telah kosong dan juga berkibar bendera putih. Kapten Krapers dan pasukannya bermalam. Pengintaian dilanjutkan esok hari. Krapers rupanya tak mau gegabah melakukan penyerangan tanpa tahu seluk beluk Wulanderi. Sementara di Wulanderi, raja bersama pasukan yaitu rakyat Mori telah bersiap hendak perang. Dibentuk tiga lapis pertahanan.

17 Agustus 1907. Pasukan marsose bergerak perlahan menuju Wulanderi. Mereka hendak melakukan pengintaian. Tapi pasukan Mori di lapis depan segera mengetahui. Serangan dilakukan.

“Tembakan meriam!” perintah seorang panglima perang Mori

Buumm… !! Tembakan meriam membuat pasukan Krapers kaget. Marsose mundur membentuk posisi pertahanan. Meriam buatan Inggris yang didapatkan dari pedagang Singapura itu terlalu modern bagi pasukan Mori. Mereka tidak ahli menggunakan meriam itu. Dengan begitu pasukan Mori lapis depan segera mencabut parang masing – masing dan menyambut kedatangan marsose. Genderang ditabuh. Marsose membentuk posisi penyerangan. Satu – persatu pasukan Mori lapis depan bergelimpangan ditembus timah panas pasukan marsose. Begitu juga pasukan di lapis dua melompat menerjang pasukan marsose. Pekikan hio bergemuruh seiring tumbangnya satu per satu pasukan Mori. Raja yang berada di lapis tiga segera mencabut parang mokoranga. Bersama pasukan yang tersisa mereka menerjang marsose dengan pekikan hio. Posisi penyerangan yang dibentuk marsose menyulitkan pasukan Mori yang bersenjatakan parang, panah dan lainnya. Marsose menyerang dengan pasukan depan yang berpedang, sementara pasukan pendukung di belakang membidik dengan senapan. Matahari beranjak naik ke ubun – ubun. Siang itu peperangan masih berlanjut. Rakyat Mori pantang menyerah, sampai titik darah penghabisan mereka bergelimpangan. Marsose terus mendesak maju ke dalam benteng Wulanderi. Pasukan Mori tak mau mundur. Berbekal senjata tradisional, mereka menerjang membabibuta ke arah marsose.

Selang beberapa menit kemudian, suasana hening hinggap di Wulanderi. Tak ada lagi suara tembakan dan pekikan hio. Dengan hati – hati pasukan marsose memasuki benteng Wulanderi.

“Periksa ke dalam” perintah Krapers pada salah seorang pasukan

“Aman, kapten!” teriak salah seorang pasukan dari dalam benteng Wulanderi

Bersama pasukan, Krapers memasuki benteng Wulanderi. Didapati para pasukan Mori bergelimapangan bersimbah darah. Di tangan mereka masih tergenggam parang dan panah. Mereka semua berseragam hitam.

“Mana raja Mori” Tanya Krapers pada juru bicara kolonial

“Yang ini, tuan” tunjuk Kapitan Mahide juru bicara kolonial itu pada salah satu jenazah yang terbaring di antara jenazah lainnya. Seorang yang berseragam hitam dan berdestar, pada genggamannya masih terdapat parang mokoranga. Dia adalah raja Mori yang gugur bersama rakyatnya.

Berita tewasnya raja dan pasukan Mori di Wulanderi segera diketahui penduduk Mori seluruhnya. Mereka sangat berduka kehilangan raja dan saudara – saudara mereka di medan perang. Dengan kekalahan yang didera di Wulanderi, pihak kolonial memaksa seluruh wilayah kerajaan Mori agar takluk.

20 Agustus 1907. Pihak kolonial menyatakan kerajaan Mori telah takluk dan kini berada dibawah kekuasaaan kolonial. Van Heutsz terbahak mendengar berita ini. Maka semakin lebarlah sayap kolonial dan semakin dalam kuku kekuasaan di Nusantara ditancapkan. Perlawanan rakyat Mori merupakan sepotong  kisah dimana pun di dunia ini, di Nusantara ini, tak ada yang menghendaki penjajahan. Siapa pun itu, kolonial, dalam bentuk apapun bentuk penjajahan, tak ada cara lain yang akan dilakukan kecuali enyahkan!

    Cerita pendek ini disusun dengan sumber utama adalah buku “Sejarah Kerajaan Mori”  Sejarah dari Sulawesi Tengah. Karya Edward L. Poelinggomang.

 1  Daerah kekuasaan di Sulawesi Tengah selanjutnya dijadikan satu bagian pemerintahan yang disebut Afdeling Midden-Celebes, pusat pemerintahan di Donggala. Yang diangkat menjadi asisten residen adalah bekas pejabat kontrolir Onderafdeling Poso, yaitu A.J.N. Engelenberg.

2  Papa I Nggowo, mia mota’u dari Topada. Tunu, mia mota’u dari Puumbana.

3  Lihat pemberontakan Lagonda, “Kerajaan Mori” hal 118 – 123.

4 F.R. Maengkom, pegawai bumiputera yang ditugaskan sebagai wakil pemerintahan (posthouder) di pulau Togian.

5 Mokoranga (Haus darah). Salah satu pedang andalan yang digunakan oleh Raja Mori XI (1870 – 1907) ketika berperang melawan kompeni Belanda.

Sahabat; meminjam sosialisme yang tak terjangkau untuk kepala manusia

Desember 1941; malam Natal di tanah tak bertuan, Ypres, Belgia. Di galian parit-parit berlumpur, beberapa helm baja nongol dan mengintip. Bola-bola mata yang letih, di bawah alis-alis yang lembab, tampak awas dan curiga. Di parit seberang, beberapa prajurit pengintai tiarap, memasang telinga, sangat peka. Mereka bosan dan letih. Dibarengi suatu perasaan tak tertahan yang hendak meledak dan sebuah kesedihan panjang, mereka mulai bersenandung. Sangat pelan seperti mendesis.

Silent night, holy night
All is calm, all is bright
‘Round yon virgin Mother and Child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace
Sleep in heavenly peace

Stille Nacht! Heil’ge Nacht!
Alles schläft; einsam wacht
Nur das traute hoch heilige Paar.
Holder Knab’ im lockigen Haar,
|: Schlafe in himmlischer Ruh! 😐

Ô nuit de paix, Sainte nuit
Dans le ciel L′astre luit
Dans les champs tout repose en paix
Mais soudain dans l′air pur et frais
Le brillant coeur des anges
Aux bergers apparaît

Gencatan senjata terjadi. Meski hanya sehari dari hari-hari yang panjang dan bengis selama perang dunia 1. Prajurit-prajurit Jerman, Inggris dan Prancis melagukan Malam Kudus, sambil bertukar rokok. Tak ada letusan senjata, bau mesiu dan rintihan kesakitan. Yang lain mengubur mayat dengan air mata, layaknya gembala yang bersedih atas kematian domba-dombanya. Sedang para Jendral bersama keluarganya mengelilingi pohon Natal sambil minum wine.

Dan, tahun ini, PGI dan KWI memilih sebuah tema Natal: “Hiduplah sebagai Sahabat bagi semua orang.” (Yohanes 15:14-15).

Indonesia hari ini; memikul beban yang cukup berat sepanjang tahun. Persoalan politik, naik-turun garis ekonomi, keadaan sosial dan berbagai persoalan kompleks sampai remeh-temeh. Maka relevanlah PGI dan KWI memutuskan tema Natal tahun ini. Tahun politik yang melelahkan sekaligus menjijikan. Perang di kolom-kolom media, saling sikut, menjatuhkan, menerobos. Semua dengan beringas. Maka memang benar lirik lagu SWAMI, Badut. Badut jaman sekarang ada dimana-mana. Di televisi, di koran-koran, di dalam radio, di atas mimbar. Rasanya tak dapat dipungkiri, satu dua orang sahabat akhirnya memasang sikut dan kepal karena berbeda pilihan politik.

Melalui Yohanes; hari ini, menjelang Natal dan musim kering yang panjang. Melintasi batas pekarangan, kita bertemu dengan orang lain. Masihkah menyimpan dendam itu, setelah makan siang sekadarnya?

Yesus menyebut pengikutnya sebagai Sahabat. Rasanya memang tak layak. Ia yang suci, menyandarkan tatapan matanya setara pada yang berdosa. “Kamu adalah Sahabatku.” demikian Ia berkata. Tapi tak berhenti sampai disitu. Ia punya satu syarat, agar kita layak menjadi sahabatNya. “Jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.”

Lalu kita bertanya, “Bukankah Kasih seorang sahabat itu tanpa syarat?”

Kemudian kita memilah-milah, menelusuri dan memutuskan. Mengapa Ia yang Kudus memilih untuk menjadi sahabat?

Dalam dunia materi, Ia sama seperti kita. Ia memiliki daging, hidung dan rambut. Seperti yang digambarkan layaknya seorang pemuda Palestina yang gagah. Kata apa yang pantas untuk sebuah istilah kedekatan yang intim dan privat; sahabat!

Lalu kita mencari-cari istilah, ditengah runyam bahasa untuk melukiskan pandangan yang tepat dan kokoh. Untuk mendefinisikan sesuatu hal dan membagi-baginya sebagai sebuah pengertian universal. Yang kemudian menempatkan, inilah ini, itulah itu. Maka rasanya tak berlebihan untuk meminjam sosialisme kedalam pengertian ini. Memang kata itu usang, tua dan lelah. Sudah ditinggalkan dan ditempatkan pada kegagalan. Tetapi jika kita membicarakan esensi, rasanya cukup layak. Dan eksistensi manusia, kesadaran dirinya di tengah kehidupan, cukuplah pantas untuk memaklumkan. Ia sudah mengetahui segalanya, Yang Kudus itu.

Di tengah-tengah kehidupan sosial, sahabat adalah sejalan dalam kasih keintiman, meskipun saling berbeda. Individu-individu itu bergerak secara empirik mengambil contoh dan membuat pengertiannya sendiri. Tapi ia tak mungkin terjungkal, lalu terlempar ke luar angkasa. Tidak! Ia tetap didalam dan luar pekarangannya. Ia adalah sahabat bagimu. Juga sahabat bagiku. Persahabatan adalah perhatian, simpati, kesetaraan, tanpa ditopang materi status dan ras. Ia hanya sama. Itu saja.

Dan tahukah, apa yang Ia perintahkan agar kita dapat disebutNya sebagai Sahabat?

“Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”

Di tengah himpitan ekonomi kapital yang mendesak, dan terus mendesak, menyempitkan pekarangan rumah kita. Membangkitkan kelaparan sosial untuk terus bergerak dan bergerak, seakan bola dunia layaknya treadmill yang akan berhenti jika kita tidak terus berlari, Yohanes datang dan membawa suaraNya; “Kamu adalah Sahabat-Ku.”

Menyambut Natal adalah sukacita. Di parit-parit sunyi Belgia, Desember 1941. Tak ada pembunuhan keji dan penguburan mayat yang tak layak. Mereka menangis karena kebodohan; dipaksa oleh nafsu penguasaan. Mereka melawan. Natal adalah persahabatan dengan-Nya dan denganmu.

Selamat menyambut Natal, Sahabatku!

— Beteleme, satu bulan sebelum Natal–

Paman Dori