12 Februari 2021.
Canting merayakan satu dekade perjalanan. Aku menyebutnya perjalanan, karena aku pikir ini kata yang tepat untuk mendeskripsikan sebuah gerakan mula-mula yang kemudian bercabang, bernanak-pinak, hidup dan terus tumbuh pada individu-individu yang tetap memegang akar gerakan itu. Agak muskil memang untuk mempercayai bagaimana mungkin sebuah gerakan tanpa individu-individu yang bersamaan pada suatu tempat. Tapi seperti itulah. Bagi Canting, akar gerakan tidak (lagi) mesti dalam satu tempat dan keadaan yang sama. Tidak terlalu berlebihan, Canting mengkultuskan SEMANGAT sebagai akar dan pemicu berbagai gerakan oleh individu-individu di tempat-tempat yang terpisah: Keruwetan Dan Semangat.
Aku sedang ingin merayakan semangat Canting dengan cara membuka sekilas isi kepala mereka. Para konservatif itu, aku menyebutnya demikian yang secara kebetulan tahun ini menurut kalender Cina, 2021 adalah tahun Kerbau logam. Kerbau adalah simbol keuletan, kesuburan, yang dalam pertanian tenaganya digunakan untuk membajak tanah. Dalam adat dan tradisi di daerah-daerah, kerbau banyak dipergunakan dalam ritual-ritual pertanian, perkawinan dan komunikasi kepada Sang Pemberi Kesuburan. Dan dalam perayaan semangat ini, aku ingin sekilas menyebutkan mereka, yang menurutku para konservatif itu luar biasa.
Azis Abdul Ngashim
Ia menyebut dirinya miring. Ternyata itu memang benar. Ia seorang Ngapak, yang mengambil jurusan Geografi pada sebuah perguruan tinggi negeri di Jogja. Sejak mengenalnya, aku pikir ia memang miring. Jika menggambarkan sebuah sungai berarus deras, dimana orang-orang berjalan menyusuri pinggiran berbatu, ia malah meluncur deras di tengah-tengahnya meskipun kadang ia menjadi pesimis, lalu mencoba meraih bebatuan di pinggir sungai. Namun, ia tetap pada arus yang menurutnya menantang. Ia penulis yang baik. Setahuku ia beberapa kali memenangi lomba menulis artikel. Ia seorang tukang protes yang bersemangat. Semangatnya memprotes struktur, pemikiran, status quo yang acak-acakan dalam perkembangan hari-hari ini pada berbagai sudut. Agama, teknologi, bola, pers labil, UMKM bahkan kesehatan, ia protes dengan tulisan dan pemikiran yang segar. Ngashim, pemuda Ngapak ini, seingatku terakhir aku melihatnya Sholat diantara tumpukan buku di kamar kosnya yang pengap. Dari pemuda Ngapak ini, aku belajar bagaimana caranya tertawa ditengah keruwetan. Menurutku ia cocok menjadi redaktur.
Elisabeth Murni
Namanya mengingatkanku pada seorang wanita dalam cerita Alkitab, tatkala aku masih sekolah minggu. Di suatu Sabtu sore beberapa puluh tahun lalu, aku takzim mendengar cerita guru sekolah minggu tentang Elisabeth Sang Ibu Yohanes Pembaptis. Wanita saleh yang mengajarkan untuk tetap percaya tanpa melihat. Tetap percaya sampai mujizat terjadi. Elisabeth Murni, wanita periang dan pandai berkomunikasi. Boleh dibilang ia adalah juru bicara Canting. Ia seorang pendongeng yang menyenangkan. Anak-anak selalu terkesima dengan cerita-ceritanya. Beberapa kali dalam kegiatan bareng anak-anak, seingatku di pengungsian erupsi Merapi, ia mengajarkan kami bernyanyi dan menari bersama anak-anak. Harapan yang begitu tulus. Hampir setiap minggu di Ripungan kami bernyanyi dan menari bersama anak-anak dibawah arahannya. Elisabeth Murni, ia cerdas dan pembawa senyum. Ia seorang penulis dan sudah menerbitkan bukunya sendiri. Jika suatu saat aku bertemu anaknya, Re, aku akan menceritakan betapa ibunya adalah seorang kawan periang yang mempunyai harapan tulus untuk semua orang. Tahun 2014, ketika aku berada bandara, hendak pulang kampung, ia menelponku untuk memastikan bahwa aku memang akan pulang ke Celebes untuk waktu yang lama. Sasha, begitu kami memanggilnya. Darinya aku belajar mengapresiasi perbuatan dan karya orang lain.
Hendra Arkan “Cakil”
Cakil layaknya garam pada suatu masakan. Ia seorang komedian pemecah kekakuan. Tingkahnya kocak namun penuh rasa hormat. Bakatnya beragam, mulai dari guru les matematika, pemain basket sampai tukang sketsa. Pertama kali aku bertemu Cakil, ku pikir dia seorang Lombok atau Madura. Perawakannya cukup tinggi, posturnya atletis, wajar karena ia seorang pemain basket. Dalam Canting, boleh dibilang ia seorang Rook/benteng. Ia selalu bergerak dari apa yang sudah ia yakini. Aku ingat betul, ketika untuk pertama kalinya kami mencoba memproduksi sebuah video dokumenter tentang anak-anak di Ripungan yang akan launching pada peresmian sanggar Studio Biru. Kami nginap di teras Mushala, dengan jadwal pengambilan gambar pagi-pagi sekali saat anak-anak bukit itu turun ke sekolah jalan kaki. Kami agak terlambat bangun dari jadwal yang sudah direncanakan. Ia mengguncang-guncangkan badanku sambil berkata: “paman… paman… tangi! Anak-anak sudah berangkat sekolah.” Aku melompat bangun dan ia berkata: “Ayo!” Lalu kami terburu-buru mengejar anak-anak itu tanpa cuci muka atau menyikat gigi. Cakil, ia pemberi semangat pada setiap keadaan yang kami lalui dalam Canting. Darinya aku belajar tentang keuletan, semangat dan kepedulian.
Gugun “Tujuh” Junaedi
Mas Gugun, demikian kami memanggilnya. Manusia yang satu ini unik. Ia seperti patung Athena yang ditemukan di tengah keramaian metropolitan. Ia bisa menjadi apa saja di tempat apapun. Perwujudan dari isi kepalanya seperti potongan puzzle yang dihamburkan di atas meja belajar. Potongan-potongan itu sangat berharga, apalagi jika potongan-potongan itu menjadi sebuah rangkaian komplit yang berbentuk. Ia seorang pengagum Gie dan Kamen Rider. Aku kagum sekaligus heran, ia bisa mengenal banyak orang. Mungkin itu disebabkan karena serangkaian perjalanan sufi digitalnya. Aku pikir ia banyak berguru pada orang-orang hebat yang menjadikannya orang hebat. Pengagum kisah petualangan dan film yang kemudian ia ceritakan berulang-ulang kali dalam setiap karyanya. “Sinematografis banget, Gung!” itu kalimat yang selalu aku dengar darinya. Beberapa kali aku mencoba memahami kalimatnya itu, yang pada akhirnya ku ambil kesimpulan: setiap detil pergerakan, kata-kata dan seluruh apapun yang terjadi di kolong langit, mesti diceritakan berulang-ulang kali, berulang kali sampai setiap orang akan menceritakannya berulang kali lagi, seperti dirinya yang selalu menceritakan berulang kali bahwa angka tu7uh adalah angka keramat baginya. Berjubel ide dan kreatifitasnya mengantarkannya memenangi Eagle Award 2018 (Menulis Mimpi Di Atas Ombak). Mas Gugun, dari isi kepalanya aku belajar bagaimana menggunakan segenap kreatifitas untuk mewujudkan ide menjadi karya.
Sigit Prabowo
Pemuda Sumatera ini seorang psikolog yang hobi bersepeda, naik gunung, nonton bola, badminton, futsal, sampai jadi relawan pengantar buku. Sigit memberikan keceriaan pada Canting. Dalam Balada Centhingsari yang ditulis berbalasan, Sigit masuk dalam geng Pandawa. Ia memang cukup usil sesuai karakternya dalam cerita tersebut. Kami melakukan petualangan bersama, menjadi volunteer, penghibur dalam tenda-tenda pengungsian. Hidupnya penuh keceriaan.
Mesha Christina
Gadis Jawa tulen ini orang yang ramah layaknya gambaran gadis Jawa pada umumnya. Tutur katanya lemah-lembut bak seorang penembang macapat ditengah malam bulan purnama. Tapi dibalik keluwesan itu, Mesha seorang penyuka sepak bola. Seingatku, ia penggemar berat Arsenal. Sepertinya ia mengikuti perkembangan dunia persepakbolaan. Menjadi pengamat dan seorang fans yang tertib. Aku sering menanyai Mesha arti beberapa kata dalam Krama Inggil. Tahun 2010 ketika terjadi erupsi Merapi, Canting turun ke tenda-tenda pengungsian mengadakan kegiatan trauma healing untuk anak-anak pengungsi. Mesha ikut dan menjadi bagian yang menyenangkan ketika kami bermain ular-ularan bersama anak-anak di tenda-tenda pengungsian. Ia senang memotret langit dan beragam jajanan pasar khas Jogja. Bertumbuh ditengah budaya yang kental, suasana yang ramah khas Jogja, Mesha terbentuk menjadi pribadi yang Njawani. Dari semuanya itu mengajarkan padaku tentang penghormatan pada tradisi, sikap hormat kepada alam dan menundukan kepala pada hal-hal yang tulen.
Yuladi Zula
Kami menjulukinya Bapak Kepala Sekolah. Yula, pemuda asli Bantul yang menjadi andalan kami dalam petualangan-petualangan. Ia bisa menjadi juru masak dan penunjuk jalan. Dalam beberapa petualangan kami di sepanjang pantai selatan, sering kami kehilangan arah dan cukup kebingungan karena tebing-tebing karang menutupi pandangan kami. Tapi seperti yang sudah ku katakan tadi, Yula selalu bisa diandalkan. “Jalan saja.” katanya, dan kami selalu menemukan jalan seperti katanya. Ia menyukai petualangan, ular dan budaya. Seingatku, ia bekerja di Tembi Rumah Budaya Jogja. Pernah sekali saat kami bersenang-senang menyusuri pantai-pantai Gunung Kidul, Yula, pemuda ini mengenakan setelan batik. Mungkin ia buru-buru pulang kerja dan langsung menyusul rombongan atau memang ia cukup nyaman mengenakan batik dalam petualangan. Tapi Yula memang tidak berubah. Ia giat, penuh semangat membangun apa saja yang menurutnya baik. Aku simpatik kepada pemuda ini. Ia begitu giat dan berani.
Ahmad Amrullah
Ulla, panggilan akrabnya. Kami sama-sama berasal dari bumi Celebes. Karakteristik pemuda-pemuda dari selatan Sulawesi ada pada Ulla; berani, kritis, berbuat. Kawan-kawan Canting sering mengatakan suatu saat nanti ia akan menjadi Gubernur Sulsel. Amin. Dunia petualangan dan hukum adalah jalannya. Pemuda dari selatan Celebes ini merupakan jebolan salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia seorang magister hukum dan pendaki gunung. Kami berdua melengkapi kepingan puzzle Canting. Puzzle dari timur Indonesia. Ide-idenya segar dan luas seperti lautan biru yang ditempuh nenek moyangnya dahulu. Aku pikir ia bisa menjadi andalan dimanapun ia berada sekarang. Cerdas dan pemberani. Ewako!
Ika Maria
Cerdas, cekatan, sana-sini, hilir mudik, lompat, nekat, itulah Ika Maria, si gadis dari Lampung. Pariyem, dia menyebut dirinya dengan nama itu. Petualang dan tukang dongeng. Naik motor pitung, jalan kaki, sepeda, membawanya ke banyak tempat. Ia punya banyak pengalaman dan kisah dari setiap petualangannya. Anak ini tidak takut dengan hal baru, bahkan kadang menurutku ia cukup ceroboh dengan sikap nekatnya itu. Tapi itulah Ika. Selalu mengikuti kata hatinya. Menceburkan dirinya dengan hal-hal yang tidak terduga, lalu ia muncul seperti balon udara. Aku pernah mendengar kisahnya yang ia sebut rumah. Tapi nampaknya rumah baginya bukanlah bangunan yang memiliki dapur atau kamar tidur. Rumah baginya adalah kata hatinya. Ia bisa tinggal dimana saja. Suatu ketika, ia memiliki kembaran. Faa, yang sedang melihat dari kejauhan atau mungkin dari dekat sekali. Mereka seirama dan beriringan dalam keberanian untuk melihat hal-hal baru. Namun, Faa sudah menjalani petualangannya pada kisah yang berbeda. Gadis Lampung ini mengajarkanku untuk selalu berani lalu keluar untuk melihat hal-hal baru.
Muhayat
Pak Ustad. Panggilan itu memang cocok untuknya. Kadang juga kami memanggilnya mas Mumu. Diantara liarnya ide dan kelakuan anak-anak Canting, mas Mumu yang paling kalem. Sambil menghisap rokok dan meyilangkan kakinya, ia berbicara dengan posisi tengah layaknya seorang bapak yang tengah memberi petuah pada anak-anaknya. Jika dalam kerasnya badai kami mencoba berlindung, mas Mumu orang yang terlebih dahulu membaca doa dalam hatinya. Ketika kami berangkat ke Lampung, hendak menuju pulau Tegal, mas Mumu dan keluarganya menerima kami dengan tangan terbuka. Satu hal yang aku ingat betul sampai detik ini, bagaimana keluarganya menyiapkan kami makanan dan menyuruh kami makan duluan. Setelah itu mereka makan belakangan. Aku tak tahu. Saat itu ada hal yang tidak bisa ku ungkapkan secara jelas. Tetapi yang pasti aku menaruh rasa hormat kepada keluarganya. Ketulusan, rasa hormat, persaudaraan. Aku melihat hal itu di Lampung. Di rumah Pak Ustad.
Rina Tri Lestari
Orang ini muncul tiba-tiba dari balik sarung kotak-kotaknya. Kami tak tahu siapa yang mengutusnya dari Surabaya ke Jogja. Mungkinkah ia termasuk anggota tim pencari kitab suci? Tak ada yang tahu pasti. Ia membawa rasa pedas kedalam Canting. Jika Cakil adalah garam, maka Rina adalah cabe. Menurutku dari pedasnya itu, ia menjadi produktif. Entah buku keberapa yang sudah ia terbitkan. Ia menulis dengan gayanya sendiri: blak-blakan, frontal, penuh humor. Jika aku seorang jendral, maka ku pikir ia cocok dikirim ke garis terdepan dalam perang. Musuh tidak akan menduga serangan apa yang akan dipakainya. Nampaknya jeans dan kaos oblong sangat nyaman baginya. Namun belakangan ini ku lihat ia sering mengenakan rok atau bahkan kebaya. Itulah mengapa aku bertanya, sesungguhnya orang ini diutus oleh siapa ke Jogja. Entahlah. Tapi yang pasti, Rina membawa semangat yang baru kedalam Canting. Menggebu. Lalu ia membakar!
Aziz Safa
Mas Aziz diukir dari batu pualam. Dalam sebuah kerajaan, ia berposisi sebagai penasihat raja. Ia sering terlihat makan siang bersama raja, tapi ia juga sering duduk bersama pengurus kuda di kandang ternak. Mas Aziz pemberi semangat. Ia seperti penjaga nyala lilin ketika anak-anak nakal itu pergi ngepet. Apapun julukanku untuk Mas Aziz, ku rasa ia adalah mentorku. Ia tak perlu berbicara panjang lebar. Ia lebih senang tertawa sambil terus meniup api kedalam dada kami.
Lina Sophy
Guru dan inspirator dari Cilacap. Mbak Lina Sophy. Mungkin ia dapat membaca, menulis dan mengajar pada saat bersamaan, atau membuat craft bersama anaknya yang lucu. Menurutku satu hal yang membedakannya dari yang lain adalah sikap gelisahnya. Pertama kali aku melihat Mbak Lina, ku pikir wanita berjilbab ini cocok jadi pemimpin. Sepertinya ia dapat menata sesuatu menjadi lebih rapi, seperti Aristoteles yang membagi-bagi jenis. Manajemennya baik. Dapat diandalkan untuk sebuah inovasi yang berkelanjutan.
Tosse Wibowo
Anak muda dari Palembang. Mas Tosse. Bisa dibilang dia ketua Canting, meskipun Canting memang tak pernah punya seorang ketua. Entrepreneur yang berbakat. Sepertinya, ia dapat berpikir sangat cepat dengan kalkulasi yang tepat. Mas Tosse, seorang tipe penggerak yang humble. Meskipun kadang kami menjulukinya ababil, mungkin itu dikarenakan sifatnya yang amat santai. Ia membangun jaringan, mengorkestrasi, mengalir dan membuat semuanya nampak jadi lebih mudah. Kafenya (Greenz) menjadi basecamp Canting. Di tempat itu kami membahas apa saja. Gerakan, petualangan, relawan, diskusi, buku, tulisan, bola atau sekedar main kartu. Semuanya dimulai dari Greenz Mas Tosse. Menurutku, satu hal yang membuat Mas Tosse nampak menjadi begitu santai menjalani hidupnya adalah keberaniannya mengambil risiko. Apapun itu, semuanya terlihat begitu mudah, santai dan intim. Mungkin ia ingin berkata: “Let it flow, bro!”
Dedy
Dedy memberi warna yang berbeda. Ia penuh semangat. Hidupnya penuh gairah dan tekadnya pada hal-hal kecil yang berarti. Dalam film dokumenter “Anak-anak Hebat di Pulau Tegal” yang diproduksi Canting tahun 2011, Dedy menceritakan pengalamannya berkunjung ke pulau Tegal, Lampung. Ia nampak bersemangat sambil berusaha menahan haru tentang harapannya pada anak-anak di pulau itu. Ia memberi warna pada Canting. Hal-hal kecil yang yang diyakininya akan menjadi besar.
Agnes “Unyil”
Agnes yang termuda dalam Canting. Kami memanggilnya Unyil. Ia lebih banyak mendengar dan sedikit berbicara. Semangat dan keceriaannya selalu nampak ketika kami bermain bersama anak-anak di Studio Biru. Kakak tertuanya adalah Cakil, meskipun kakak aslinya adalah Mesha. Setahuku ia suka sepak bola dan menjadi fans Chelsea FC. Aku tak tahu apakah hal itu memang kesenangannya, atau dipaksa kakaknya agar punya teman berdebat soal sepak bola.
Canting mengukir sejarahnya sendiri dengan caranya sendiri. Satu hal yang aku syukuri adalah bertemu mereka. Satu dekade terlewati. Orang-orang itu ditempah oleh kewarasan. Menjadi penggerak di banyak tempat dengan semangat yang masih tetap sama. Memelihara kewarasan dan melihat lebih jernih jauh kedalam hidup yang tak pernah disangka begitu semarak. Canting adalah semangat. Bergerak dan terus bergerak. Daya hidup yang terus tumbuh dalam dada kita. Dimanapun kalian berada, kalian tetaplah Canting.
Dirgahayu Canting!