Sejak Risvel Pase bertunangan dengan Livi, orang-orang berkomentar bahwa mereka adalah pasangan yang berbahagia. Pasangan yang serasi, kompak dan sehati. Risvel Pase, seorang pemuda yang setia, merasa calon istrinya, kekasihnya itu, Livi, harus segera dinikahi. Dia cemas, seiring berjalannya waktu, Livi bakal berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Maka dengan ketetapan hati yang sungguh-sungguh, dia ingin segera menikahi Livi. Awalnya Livi menolak. Dia merasa mereka masih terlalu muda, dan lagi dia meyakinkan bahwa dia tidak mungkin berpaling pada lelaki lain. “Toh, kita sudah bertunangan.” Kata Livi pada kekasihnya. Dalam hati, Risvel setuju dengan Livi, tetapi dia sudah keburu ingin menikahi Livi karena banyak alasan. Meskipun alasan-alasan yang dikemukakannya banyak yang mengada-ada. Pasangan muda itu beradu pendapat. Livi merasa mereka belum cukup mapan untuk membina rumah tangga. Risvel dengan teguh meyakinkan bahwa dia akan selalu mampu menjadi suami yang baik. Mereka ribut dalam beberapa hari. Masing-masing dengan pendirian dan pemikiran. Pendeknya, mereka akhirnya menikah, karena Livi sudah hamil. Keluarga kedua pasangan itu mempercepat pernikahan anak mereka. Keluarga sangat cemas bakal dihujat oleh banyak orang, karena hamil diluar nikah merupakan suatu perkara besar yang memalukan!
Risvel Pase merasa hidupnya benar-benar sempurnya sejak dia menikah. Dia merasa tak punya keinginan apa-apa lagi. Memiliki sebuah keluarga telah dirasainya lebih dari cukup. Apalagi mereka tengah menanti kelahiran anak pertama. Setiap hari, Risvel terus menjaga istrinya, memanjakannya layaknya seorang gadis kecil. Setiap malam sebelum mereka tidur, Risvel mengelus-elus perut istrinya dan bersenandung penuh bahagia. Livi yang sudah hamil tujuh bulan merasa begitu bahagia berada disamping suami yang begitu menyayanginya.
Pada suatu malam, pasangan itu bersiap tidur. Dan seperti kebiasaannya setiap malam, Risvel mengelus-elus perut istrinya, sambil bernyanyi kecil menghibur istrinya yang terlihat kepayahan membawa perutnya yang besar. Dengan nada manja, Livi bertanya pada suaminya:
“Sayang, badanku terlihat begitu gemuk. Setiap memandangi cermin, aku merasa mirip tetangga kita, si janda miskin yang malang itu. Benar-benar buruk, lemak bergelambir di leherku dan lipatan-lipatan kulitku seperti diolesi mentega. Gerah dan menjijikan.”
Risvel menghentikan nyanyiannya. Dia mentap istrinya dengan tatapan tak senang penuh curiga.
“Kan kau lagi hamil, sayang. Itu semua terjadi pada setiap perempuan yang sedang hamil. Masakan kau merisaukan hal sepele seperti itu. Jangan mengada-ada sayang” komentar si suami berusaha menenangkan. Tiba-tiba dia merasa curiga istrinya tengah mengidam lelaki lain. Maka dia menambahkan:
“Jangan-jangan kau melirik lelaki lain, dan kau merasa mesti terlihat menarik. Apakah begitu sayang?”
“Ah, jangan berprasangka buruk begitu. Aku hanya merasa penampilanku berubah. Sesuatu yang tak biasa kulihat. Kau benar-benar tidak dapat menangkap maksud hatiku, sayang. Aku tadinya berharap kau akan mengatakan bahwa aku tetap terlihat cantik dengan perutku yang besar ini.Kau tidak dapat membaca perasaan seorang perempuan.” Kata Livi kesal.
Risvel merasa begitu terlihat bodoh di hadapan istrinya. Dia menyesal telah berprasangka buruk terhadap istrinya.
“Maafkan aku, sayang. Aku benar-benar bodoh. Aku katakan sekarang, kau seperti gadis belia yang lincah, manisku. Merah pipimu seperti buah anggur yang segar. Aku ingin segera menciumnya.” Si suami memohon.
“Terlambat, sayang. Kau benar-benar bodoh.” Kata Livi menggoda.
Tangan Risvel melingkar pada perut istrinya. Mereka berciuman mesra hingga tertidur pulas.
Selama menanti kelahiran anak pertama mereka, sepasang suami istri itu terlihat romantis. Hubungan mereka dibumbui godaan-godaan nakal seperti muda-mudi yang tengah pacaran.Risvel menganggap sifat manja istrinya itu timbul karena tengah mengidam. Hal itu telah didengarkannya dari teman-temannya yang sudah memiliki anak. Kata teman-temannya, ketika seorang istri tengah mengidam, dia ingin selalu dimanja dan diperlakukan seperti anak anjing. Selalu ingin dibelai-belai dan disanjung-sanjung. Risvel melakukan semua hal itu dengan penuh sukacita. Hubungan mereka semakin mesra dan terlihat menggemaskan bagi orang yang belum menikah. Kadang-kadang tetangga mendapati kedua pasangan itu tengah bermesraan di teras rumah, sambil terus melontarkan pujian satu sama lain. Pasangan yang diberkati, kata orang-orang pada pasangan suami istri itu.
Anak pertama mereka lahir dengan sehat. Bayi mungil dan lucu itu sangat mirip ibunya. Hidungnya, matanya, dan garis-garis wajah bayi itu tak lepas dari wajah ibunya. Hingga terlontar sebuah candaan dari mulut Livi.
“Anak ini hanya anakku seorang. Dia begitu mirip dengan wajahku.”
“Ya, dia akan mewarisi ketampananku. Dia kelak menjadi lelaki yang tampan seperti ayahnya.” Balas Risvel tak mau kalah.
“Dia berhati lembut seperti ibunya.” Kata Livi lagi.
Dengan sangat bernafsu, Risvel membalas lagi:
“Dia akan memacari banyak perempuan karena dia lelaki yang tampan. Digilai banyak perempuan.”
“Tidak bisa begitu. Dia harus bermoral baik.” Bantah Livi dengan nada keras.
“Lelaki bermoral terlalu banyak disakiti perempuan. Mereka itu korban perempuan. Dia tak boleh percaya pada mulut manis.” Balas Risvel penuh keyakinan.
“Apa katamu, sayang?” tanya Livi pasrah.
Setelah anak mereka berusia tiga tahun, hubungan mesra Risvel dan Livi sebagai pasangan suami istri mulai merenggang. Mereka terlihat sering terlibat percekcokan. Adu mulut mewarnai keseharian mereka. Pemikiran mereka sering tidak sepaham. Risvel yang merasa sebagai kepala keluarga bersikeras istrinya harus mengikuti keinginannya. Tetapi Livi tidak setuju. Ego mereka semakin nampak. Mereka terlibat keributan pada hal-hal sepele, seperti letak tempat tidur yang benar, perabotan yang pantas dipajang di lemari ruang tamu, makanan apa yang harus dihidangkan pada hari-hari besar. Risvel sering melarang istrinya untuk berdandan. Menurutnya banyak lelaki diluar sana yang sering menggoda istri orang. Livi membalasnya dengan pernyataan yang sama.
Sifat cemburu Risvel yang sama sekali tidak nampak ketika mereka masih pacaran, sekarang terlihat nyata, bahkan sangat berlebihan, sehingga membuat Livi bosan dengan hal itu. Livi pun begitu. Sifatnya yang pemarah lebih sering terasah ketika mereka terlibat pertengkaran. Keadaan keuangan yang merosot menjadi senjata Livi untuk membentak suaminya. Menurutnya, suaminya itu tidak becus dalam mengusahakan pendapatan keluarga. Usaha yang dibangun Risvel lebih sering gagal karena istrinya selalu tidak menyetujui tindakannya. Hingga sampai suatu saat dimana kedua pasangan itu benar-benar lelah menghadapi keadaan rumah tangga.
Suatu hari, Risvel mempunyai sebuah ide untuk meredam ketakharmonisan hubungan mereka. Diajaknya istrinya untuk liburan disuatu tempat yang teduh dan nyaman, dimana mereka dapat mengingat kembali masa-masa kemesraan mereka yang kini menjadi hal yang langka. Livi pun setuju dengan ajakan suaminya. Menurutnya itu merupakan tindakan yang bijak.
“Menurutku kita harus pergi ke suatu tempat yang nyaman, untuk membenahi diri kita masing-masing. Kau dan aku, sayang.” Kata Risvel pada istrinya.
“Itu benar, sayang. Kita kekurangan hiburan. Aku merasa lelah di sini.” Kata Livi menyetujui ajakan suaminya.
Pada akhir pekan, kedua pasangan itu pergi menuju suatu tempat yang dirahasiakan. Anak mereka dititipkan pada keluarga Livi. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah villa yang terletak di pinggir pantai. Villa itu milik teman Risvel, seorang pengusaha yang baik hati. Villa yang cukup mewah itu terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Dari villa itu mereka dapat melihat hamparan laut yang biru dan pasir putih yang bersih. Suasana yang sangat sejuk di pagi hari, mereka dapat memandangi matahari terbit di balik tebing-tebing raksasa. Di tempat itu mereka menghabiskan akhir pekan dengan hati yang longgar. Mereka biasanya duduk-duduk di balkon sambil menikmati lautan yang teduh. Pada suatu sore, setelah mereka bercinta dengan sangat mesra di balik tebing, kedua pasangan itu naik ke balkon dan duduk bersebelahan, sambil menunggu matahari terbenam.
“Sayang, aku benar-benar menyesal telah banyak mengecewakanmu dalam kehidupan rumah tangga kita yang masih pendek ini.” Risvel membuka suara.
“Aku pun begitu, sayang. Kita telah banyak melalui banyak hal. Di tempat ini aku menyadari betapa kau begitu berarti dalam diriku.” Kata Livi sambil terus menatapi matahari yang mulai berubah warnanya di langit jingga.
“Itu alasannya aku mengajakmu ke tempat ini. Aku rasa kita harus mulai jujur terhadap diri masing-masing. Aku akan mengakui segala kesalahan yang telah ku lakukan padamu.” Risvel bersuara sedikit gemetar. Livi memandang suaminya penuh pertanyaan.
“Apa itu, sayang?” tanya Livi.
“Dua bulan yang lalu, aku telah berselingkuh dengan seorang perempuan pemilik toko roti langganan kita.” Terang Risvel membuat pengakuan dengan penuh rasa sesal.
“Kau gila, Risvel! Aku kenal betul perempuan itu. Dia perempuan baik-baik.” Bentak Livi seakan tak percaya dengan pengakuan suaminya.
“Setiap hari aku bertemu perempuan itu di tokonya. Dia mampu mencairkan kekacauan hatiku ketika bertengkar denganmu di rumah. Aku benar-benar menyadari hal itu. Tapi kau jangan menyalahkan perempuan itu. Dia hanya menghiburku. Tetapi sekarang aku tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan perempuan itu.”
“Jangan katakan bahwa kau pernah tidur seranjang dengan perempuan itu, Risvel?” tanya Livi mendesak.
Risvel mengangguk pasrah di samping istrinya. Livi menghentakkan tubuhnya ke sandaran kursi.
“Gila! Kau benar-benar sudah gila.” Teriak Livi.
Risvel merasa ditelanjangi. Dia benar-benar malu. Tapi niatnya untuk mengatakan sejujurnya kesalahannya di hadapan istrinya, sudah direncanakan sejak mereka tiba di tempat itu. Risvel merasa menyesal, dan dia sudah bertekad untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Dalam hatinya sudah ditetapkan, bahwa dia ingin membahagiakan istri dan anaknya. Dia teringat janjinya pada Livi. Dia akan menjadi suami yang baik. Tapi dia masih mempunyai pengakuan yang lain. Dia akan mengatakannya dengan jujur di hadapan istrinya. Tak ada lagi rahasia antara mereka.
“Sayang, aku juga yang meminjamkan tabungan kita pada perempuan itu, saat toko rotinya bangkrut. Aku telah mendustaimu. Maafkan. Tapi dia berjanji akan segera menggantinya secepatnya.”
Livi terhenyak.
“Jangan-jangan kau sudah diguna-guna oleh perempuan itu. Aku tidak pernah berpikir kau akan melakukan hal itu. Aku benar-benar yakin, kau telah dimantrai oleh perempuan sundal itu.”
“Jangan berkata seperti itu. Perempuan itu sama sekali tidak bersalah. Akulah yang bersalah. Jangan pernah mengatai dia seperti itu.” Bantah Risvel.
“Oh! Jadi kau membelanya.” Bentak Livi.
“Jangan mulai lagi, sayang. Aku hanya berkata jujur kepadamu. Sekarang kau tahu semuanya. Tidak ada lagi rahasia yang kusembunyikan darimu. Ku harap dengan pengkuan ini, hubungan kita di rumah nanti akan kembali harmonis.” Risvel memberi penjelasan.
Livi kembali terdiam. Bibirnya gemetar. Bahunya naik turun. Tiba-tiba tangisnya pecah. Livi menangis sejadinya. Dengan kedua tangannya, Livi menutup mukanya erat-erat. Air mata mengalir dari sela jari-jarinya. Risvel segera memeluknya, berusaha menenangkannya dengan menghujaninya ciuman di kepala.
“Maafkan aku, sayang…” kalimat itu terus dibisikan Risvel di telinga Livi, berkali-kali hingga tangis Livi mereda, dan berkata:
“Bukan. Bukan itu, sayang. Aku juga akan membuat pengakuan.”
“Baiklah, sayang. Tapi tenangkan dulu dirimu.”
Risvel berharap cemas menunggu istrinya membuat pengakuan. Dalam hatinya dia berjanji akan memaafkan kesalahan istrinya, seperti dirinya yang telah melakukan kesalahan.
“Sayang, aku akan mengaku. Sejujurnya…” kalimat Livi terpotong. Dia tak kuasa menahan sedu-sedan. Air matanya mengucur deras.
“Katakanlah, sayang. Aku akan memaafkanmu.” Kata Risvel berusaha menenangkan.
“Sejujurnya, aku pernah tidur dengan lelaki lain pada masa pertunangan kita.” Kata Livi gemetar.
Risvel terhenyak, seakan tak percaya. Dia berusaha menenangkan diri.
“Baiklah, sayang.” Jawab Risvel pasrah.
“Tapi sayang, supaya kau tahu, anak kita lebih mirip lelaki itu. Wajah anak itu membuatku selalu dihantui bayang-bayang lelaki bajingan itu.”
Risvel berdiri dengan lutut gemetar. Tubuhnya dibasahi keringat. Napasnya megap-megap. Dia benar-benar tidak dapat menguasai dirinya.
Di balik tebing-tebing raksasa, matahari sudah tak terlihat, hanya sinar-sinar yang ajaib membentuk gradasi di langit sebelah barat. Suatu warna seperti jingga abu-abu memantul di atas permukaan laut yang teduh.
Juli, 2021
Agung Poku