Goodbye Sanity: Selamat Jalan, Asyu.

Jogjakarta, 2010. Suatu sore di pinggir pantai Parangkusumo. Kami duduk di atas pasir, di bawah Pandan Laut yang cukup lebat, menunggu matahari terbenam. Sore yang sunyi dan hangat. Angin berembus kencang. Tak ada percakapan. Masing-masing dari kami hanya mengangkat wajah ke arah senja. Merasakan hangatnya udara dan mencium aroma laut. Tiba-tiba ia menarik tanganku, berjalan ke pinggir pantai.

“Keren banget senjanya. Yula, fotoin dong, gantian.” katanya pada seorang teman.

Kami duduk di pinggir senja sampai malam tiba di Parangkusumo.

“Kamu cukup nekad, Rin. Datang ke Jogja, hanya karena percaya dengan orang-orang seperti kami ini.” Kataku pada Rina.

Ia menoleh, melihat wajahku. Diam sebentar, lalu berkata:

“Aku iri pada kalian. Dan selama Bapakku mengizinkan, aku bisa pergi ke mana saja.”

Percakapan sore itu, benar-benar aku ingat setiap detailnya. Warnanya, aromanya, hawanya, semuanya.

Tiga tahun yang lalu, ketika Canting berulang tahun ke-11, saya mendeskripsikan dirinya secara singkat:

“Orang ini muncul tiba-tiba dari balik sarung kotak-kotaknya. Kami tak tahu siapa yang mengutusnya dari Surabaya ke Jogja. Mungkinkah ia termasuk anggota tim pencari kitab suci? Tak ada yang tahu pasti. Ia membawa rasa pedas kedalam Canting. Jika Cakil adalah garam, maka Rina adalah cabe. Menurutku dari pedasnya itu, ia menjadi produktif. Entah buku keberapa yang sudah ia terbitkan. Ia menulis dengan gayanya sendiri: blak-blakan, frontal, penuh humor. Jika aku seorang jenderal perang, maka ku pikir ia akan cocok dikirim ke garis terdepan dalam perang. Musuh tidak akan menduga serangan apa yang akan dipakainya. Nampaknya jeans dan kaos oblong sangat nyaman baginya. Namun belakangan ini ku lihat ia sering mengenakan rok atau bahkan kebaya. Itulah mengapa aku bertanya, sesungguhnya orang ini diutus oleh siapa ke Jogja. Entahlah. Tapi yang pasti, Rina membawa semangat yang baru kedalam Canting. Menggebu. Lalu ia membakar!”

Manusia adalah gabungan dari kemungkinan dan keterbatasan. Ada batas untuk cita-cita dan perencanaan manusia. Ada batas kenyataan alam yang harus diperhatikan. Misalnya, bahwa air selalu mengalir ke tempat lebih rendah atau bahwa dunia ini fana dan manusia harus mati, demikian kata Rendra. Ketika manusia menjadi lebih waras, ia makin sadar dan menyadari bahwa ada keterbatasan yang tak bisa dilawan yaitu hukum alam. Orang yang menghayati daya hidup juga akan paham terhadap kematian. Orang yang tidak menyia-nyiakan hidupnya akan lebih paham menghadapi kematian.

Rina tidak menyia-nyiakan hidupnya. Ia datang ke Jogja, lalu menjadi bagian dari kami. Saya selalu bertanya dalam hati: “Siapa sesungguhnya yang mengutusnya? Lalu menjadi bagian dalam semangat Canting.” Kita tidak memilih satu sama lain secara acak. Kita hanya bertemu dengan mereka yang sudah ada di alam bawah sadar kita (Freud). Benar, bahwa tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua memiliki pola yang tanpa kita sadari bergerak dalam ruang dan waktu. Demikian juga Rina, yang bergerak dalam pola; pilihan-pilihan dan kehendak yang menuntun ia ke dalam Canting.

Tiga hari yang lalu, tengah malam pukul 01.00 dini hari, saya sudah tidur pulas di kamar. Ada dua pesan yang masuk di WhatsApp, dari Sasha dan Ika. Paginya ketika bangun, saya baru membaca pesan itu. Saya tertegun sebentar. Isi pesan itu:

“Paman, Mbak Rina sudah pulang. Dipanggil Tuhan.”

Ingatanku begitu cepat muncul. Ingatan beberapa tahun yang sudah lewat tentang Rina. Baru seminggu yang lalu, saya mengirim pesan padanya. Menanyakan apakah ia masing sering nulis, yang ia jawab sangat singkat: udah jarang, ndrong!” belakangan saya baru tahu bahwa pesan itu ia balas ketika sedang berjuang melawan sakitnya. Rina selalu mengirimkan ucapan selamat Natal padaku. Tidak pernah tidak. Ia masih saja mengikuti tulisan-tulisanku, katanya: “Kamu penulis yang baik, Ndrong.”

Selamat jalan, Rina. Benar katamu: “selamat tinggal kewarasan”. Kewarasan hanya untuk dunia yang fana. Dan Bapakmu telah mengizinkan kau untuk pergi kemana saja. Bahkan untuk dapat kembali mengunjungi Bapakmu di keabadian. Rest In Love. We Love You! Selamat jalan, Asyu.

Februari, 2024

-pamandori-

Koro Onde


Pertengahan bulan Mei yang sejuk di padang rumput Koro Onde. Langit sedikit mendung setelah gerimis turun. Angin berembus cukup kencang dari selatan membawa awan-awan yang tampak seperti lembaran tipis ke arah sebelah timur padang rumput. Tirai langit di barat mulai terbuka. Sinar matahari memecah kristal-kristal es di udara, membuyarkannya menjadi serat-serat yang terpisah. Matahari sore itu hampir tenggelam di balik pegunungan Batu Putih.

Pegunungan Batu Putih yang memanjang dari selatan ke utara, seperti deretan benteng-benteng kuno yang memagari sebuah danau yang ada di baliknya. Orang-orang menyebutnya Danau Lowo. Di daerah danau Lowo dulunya adalah pusat sebuah kerajaan yang ditaklukan Belanda pada tahun 1907 dibawah pimpinan Kapten Krapers. Gubernur Jendral Van Heutsz, manusia yang gila perang datang menggantikan Rooseboom. Ia menghadapi perang Aceh yang keras. Namanya menjadi gemilang seperti kumisnya yang mengkilap. Lalu dengan kewibawaannya sebagai pemenang ia menyuruh Krapers membereskan Celebes. Ia membeli meriam dan senapan-senapan mesin untuk menghancurkan benteng-benteng pasukan Kerajaan Mori. Agustus 1907, ia berhasil membunuh sang raja.

Sekawanan burung bangau putih terbang menukik membentuk formasi yang simetris menuju ke arah matahari senja. Berputar-putar menunggu kawanan lainnya, lalu hinggap di atas dahan-dahan pepohonan sawit. Sore yang sunyi, di kejauhan terlihat serombongan petani berjalan berarak, berbaris rapi menuju rumah. Sinar matahari mengikuti tubuh mereka yang tabah. Bayangan mereka bergerak-gerak diantara rerumputan liar dan bunga dandelion. Mereka turun ke sawah sejak pagi buta untuk memeriksa padi-padi dan mengusir burung-burung peta.

Di tengah padang rumput yang lebat dan hijau, terdapat sebuah ladang yang bersih dan nampak begitu terawat. Beberapa macam tanaman sedang tumbuh dan digarap. Di pingggir jalan, rerumpunan daun kacang tanah terlihat hijau dan segar dalam jarak yang teratur. Tanahnya masih terlihat basah dan lembab. John, si pemilik ladang itu sedang menarik selang air di antara daun-daun kacang tanah, menyemprotkan air ke atas, ke arah terjauh yang tak tergapai selang air. Ia begitu bersemangat. Wajahnya terlihat kemerahan, bercahaya disinari matahari sore. Ia tak memakai topi, sehingga rambutnya yang pendek dan lurus itu bergoyang kesana-kemari, menari-nari mengikuti arah angin, seperti tarian bunga-bunga liar dan dendelion di padang rumput. John terlihat sangat bahagia. Bibirnya yang kecil bergerak-gerak seperti sedang menyanyikan sebuah lagu. Ia mengenakan pakaian kerjanya berwarna hijau tosca yang berlengan pendek. Celana panjangnya setengah basah dan berlumpur. Ia berjalan diantara bedeng-bedeng sayur kacang panjang. Usia John lima puluh delapan tahun. Dua tahun lagi ia akan memasuki masa pensiun. Ia seorang guru yang cerdas dan disukai banyak orang. Semua orang mengenalnya karena ia adalah pribadi yang hangat dan suka membantu orang. John seorang pria humoris. Ketika waktu senggang di sekolah, John selalu berada diantara rekan-rekan kerjanya. Ia selalu punya bahan cerita untuk didengarkan orang-orang. Daya magis kharismanya mengelilingi sekitarnya, sehingga orang-orang akan terpana ketika ia mulai membuka cerita dengan kalimat:

“Jadi ceritanya begini. Ada seorang lelaki tua yang hidup bersama kuda kesayangannya di sebuah lembah. Lelaki tua itu sangat menyayangi kudanya, sampai-sampai ketika kudanya mati, ia ingin juga dikubur bersama kuda kesayangannya.”

Seorang rekannya menyahut:

“Lantas siapa yang menutup kubur mereka?”

“Pendeta mana yang mau memimpin acara pekuburan kuda dan seorang manusia?” jawab John datar.

Mereka yang mendengar lantas terdiam dan berpikir keras. John hanya berlalu pergi sambil memonyongkan bibirnya yang kecil. Bersiul.

Rekan-rekan kerjanya yang lain terpingkal-pingkal. Sementara yang lain berpikir keras sambil menggaruk kepala. John selalu punya kisah sarkas untuk diceritakan.

Ayah John seorang pendeta yang bertugas melayani jemaat di lembah-lembah Lore. Dari ayahnya, ia belajar berkuda, berburu rusa dan mengikat kail. Ibunya berasal dari lembah Bada yang penuh dengan batu-batu megalit purba. Seorang petani biasa yang sangat disiplin. John memiliki tujuh orang saudara. Mereka tinggal di sebuah rumah yang kecil diantara kebun kol dan labu. Penduduk di situ memberi nama untuk tempat tinggal keluarga John. Mereka menyebutnya rumah kebun, sebab keluarga John memang tinggal agak jauh dari perkampungan, diantara kebun-kebun sayur yang memanjang hingga ke kaki lembah. Sehingga ketika ada orang luar yang mencari pendeta, penduduk di situ akan bertanya:

“Pendeta yang mana? Pendeta di rumah kebun?”

Tiga puluh delapan tahun yang lalu, John bertemu seorang wanita yang kemudian menjadi istrinya. Wanita itu sekarang sedang berada di pondok kecil di seberang pagar kawat ladang mereka. Ia sedang memisahkan kacang tanah dari daun-daun, lalu mengumpulkannya dan mencucinya sampai bersih. Wanita itu terlihat begitu teliti dan sabar mengerjakannya. Lin, istri John, seorang wanita asli daerah sini. Ia dibesarkan dalam kehidupan petani khas dataran Lembo. Orang-orang Lembo punya semboyan turun-temurun: Hiduplah sabar dan rendah hati. Mereka begitu menyukai ketenangan dan suka bekerja. Ketika mereka berbicara, orang mesti sedikit memiringkan telinga untuk mendengar lebih jelas apa yang mereka katakan. Dialek mereka berayun-ayun seperti lagu pengantar tidur seorang anak kecil. Lin memetik kacang tanah seperti sedang berdoa. Ia mengerjakannya seolah-olah itu adalah pekerjaan paling suci. Tangannya memang ajaib. Apapun yang ia tanam pasti tumbuh subur.

John berjalan pelan ke arah belakang pondok. Ia berjalan memutar mengitari kolam di antara pohon-pohon nangka dan lengkuas. Ia tidak mau memotong jalan yang langsung menuju ke arah depan pondok yang lebih dekat. Ia menghindari semak-semak kering yang penuh dengan burung Bibiundi yang sedang bertelur. Unggas kecil itu sangat sensitif dengan langkah kaki manusia. Lagipula John tidak mau membuyarkan lamunan Lin dan tekadnya yang besar dalam mengerjakan sesuatu. Di belakang pondok, John duduk di sebuah kayu pagar sambil menghabiskan sisa kopinya. Dinyalakan sebatang rokok, lalu ia termenung seperti sedang berdoa.

Sore di bulan Mei itu terasa begitu sunyi. Angin membawa harum bunga-bunga liar dan aroma padang rumput Koro Onde. Dahan-dahan pohon Sagu di dekat rawa-rawa tampak sendu menjuntai. Langit berwarna jingga. John menghisap rokoknya lambat-lambat seakan-akan sedang menjaga sore itu dalam bara api rokoknya. Ia begitu tenang melihat deretan panjang pegunungan Batu Putih. Tetapi Lin, istrinya, adalah seorang yang amat perasa. Lin menghentikan pekerjaannya, lalu ia menuju belakang pondok. John tak menyadari kehadiran Lin. Bahu John lalu bergetar naik turun, tetapi dengan tekad yang kuat ia berusaha menahannya. Dengan lembut, Lin menyentuh bahu suaminya tanpa berkata apa-apa. John menoleh. Matanya basah dan bibirnya bergetar.

“Ada apa?” Tanya Lin.

John berusaha menahan bibirnya yang bergetar. Ia menyeka air matanya.

“Saya teringat…” John tidak menyelesaikan kalimatnya.

Dalam jeda yang cukup panjang mereka terdiam. John berusaha menguasai dirinya.

“Saya teringat kehidupan kami dulu di lembah. Suatu tempat yang dingin juga sunyi seperti hari ini. Kehidupan seorang Pendeta, Papaku, naik kuda seorang diri melewati lembah-lembah yang panjang menuju kampung-kampung kumuh. Kadang-kadang juga dia mengajak saya melawat orang-orang sakit, mengajar mereka berdoa atau memimpin kebaktian-kebaktian di kampung-kampung jauh. Pagi-pagi sekali Papa sudah bangun. Ia pergi memasang jerat Rusa dan memasang kail di sungai. Ah, ia benar-benar mengerjakan semuanya dengan sangat baik.” Mata John menerawang mencoba mengingat semua hal yang ia lewati di kampung halamannya. Ia ingin merawat kenangan itu dan menyimpannya dengan hati-hati.

“Papa orang yang sangat baik. Dan sangat disesalkan saya tidak dapat menghadiri pemakamannya.” Sambung Lin dengan nada yang lirih.

“Ah, tidak, Lin. Keadaan saat itu tidak bisa kita sesalkan. Orang-orang berjalan kaki dari lembah-lembah, bersembunyi melewati pos-pos penjagaan untuk menghadiri pemakaman Papa. Tentara-tentara di pos pengamanan juga tidak menganjurkan hal itu. Tidak ada kendaraan yang bebas melintasi pos penjagaan. Poso saat itu benar-benar ditutup. Tidak ada yang perlu disesalkan.” John mencoba menghibur mereka berdua.

Hari hampir gelap. Matahari sudah tenggelam di balik pegunungan Batu Putih. Suasana menjadi keungu-unguan. Di kejauhan terdengar suara sapi melenguh keras, memanggil pulang anak-anaknya yang bersembunyi di balik rerumputan dan pohon-pohon Tabango.

Tiba-tiba John bersuara pelan:

“Apakah saya juga sudah mengerjakan semuanya dengan benar-benar baik?”

Lin menubruk tubuh John. Memeluknya dengan kuat.

“Kau sudah mengerjakan semuanya dengan sangat baik. Sangat baik.” Lin setengah berteriak sambil merangkul bahu John dan mencium kepalanya.

“Kau lelaki yang sangat baik untuk saya dan anak-anak kita.” Lin membenamkan wajahnya di leher John.

Hari sudah gelap. Padang rumput di Koro Onde sangat tenang. Bintang-bintang mulai nampak di langit cerah. Suara-suara hewan malam melingkupi pondok kecil di tengah padang rumput itu, seperti nyanyian puji-pujian untuk malam.

Suatu sore di bulan Maret setelah musim hujan di padang rumput Koro Onde. Saya baru saja pulang dari pemakaman John sore itu. Setelah menulis cerita ini, saya duduk di sebuah kayu pagar di belakang pondok, menunggu warna langit berubah menjadi jingga. Melihat pagar kawat pembatas antara padang rumput dan ladang. Angin lalu berembus menyapu rerumputan, mengagetkan burung-burung Bibiundi yang sedang bertelur. Bunga-bunga Dandelion berwarna ungu terbang berhamburan di udara. Tiba-tiba bahuku bergetar hebat, tanpa bisa menahannya. Dengan bibir yang gemetar, berkata:

“Apakah saya juga bisa melakukannya, mengerjakan semuanya dengan benar-benar baik, seperti John, Papaku?”

Januari, 2024

-agungpoku-

Rano Moana: Bertemu Penanam Harapan

Rasanya seperti bertualang ke dalam lukisan Monet. Meliuk-liuk di dalam kanvas, udara yang terbuka, cerah dan bersih. Padang rumput luas yang dilihat dari kejauhan, nampak seperti cahaya yang membentuk bidang-bidang kontras: pohon, rumput, langit, sapi, jalan terjal kering dan tropis. Itu adalah padang terbuka ketika kami hendak menuju Danau Beranak, atau dalam bahasa setempat disebut Rano Moana. Berbekal petunjuk singkat dari orang-orang yang kami jumpai di perkebunan sawit, dan tentunya google maps pada ponsel, kami meraba-raba arah menuju Rano Moana. Informasi tentang danau Moana memang sangat terbatas, hanya sebatas cerita-cerita yang tidak detail. Di pos penjagaan perkebunan sawit, seorang satpam dengan dahi mengernyit, dengan ragubertanya:

“Siapa mata jalan ke sana?”

Google maps!” jawab seorang kawan sambil mengacungkan ponselnya.

“Pokoknya kamu ke kanan terus. Selalu ambil arah kanan” Pesan seseorang yang mengantar kami sampai di ujung jalan.

Satpam di pos penjagaan sempat memberi informasi bahwa kendaraan yang kami bawa mungkin akan kepayahan menembus jalan ke danau. Kami menjadi maklum setelah sampai di ujung jalan. Dua motor bebek standar dan satu motor matic yang kami kendarai memang cukup kepayahan. Jalan yang terjal berbatu, dan pada beberapa tempat sangat becek karena ditutupi hutan kecil yang lembab. Kami melewatinya dengan tekad dan tenaga. Padang rumput terbuka di bawah sinar matahari yang cukup menyengat, membuat angin leluasa bergerak dan sedikit membawa wangi khas pohon pinus. Suara-suara burung Rangkong terdengar dari kejauhan. Sejenak saya teringat, setiap kali pulang ke kampung Papaku, di Lore, dari atas lembah menyeruak wangi hutan pinus yang membawa imaji pada moyang dan kebersahajaan orang-orang tua. Aroma khas suatu tempat seringkali membawa kita pada mommen-momen yang pendek.

Kurang lebih tiga jam menempuh perjalanan, tak seorangpun yang kami jumpai. Hanya sapi-sapi di padang rumput yang terlihat malas karena kekenyangan, membuat kami yakin bahwa kami berada pada jalur yang benar. Kami mendaki senja. Bulan di atas tampak lebih besar, sangat cerah, sebentar lagi purnama. Kami memacu motor mendaki jalan terjal dan berlubang-lubang. Akar-akar pohon pinus seringkali membuat ban motor terpeleset, namun dengan sigap kami bertiga saling topang. Hari mulai gelap, dan dari kejauhan ada tanda-tanda manusia. Di puncak bukit nampak bayangan orang yang memberi kode dari lampu senternya. Gas dipacu dan mendekati arah cahaya senter. Dua orang pemuda mendekati kami dengan ragu.

“Mau kemana ini?” tanya seorang dari mereka.

“Ke Rano Moana.”

“Ohh… Terus saja. Nanti kelihatan itu. Sudah dekat kok. Tidak jauh.” Ia memberi penjelasan dengan nada suara yang lega. Mungkin setelah menganalisa bahwa kami bukanlah orang yang mencurigakan.

Ia menambahkan: “Nanti kami juga mau kesitu. kami juga bermalam disitu.”

Rano Moana. Photo by: Benny Sane

Rano Moana. Photo by: Benny Sane

Cahaya bulan yang keperakan memantul di atas permukaan air. Bayang-bayang sinarnya yang berkilau menuntun kami menuruni bukit. Memasang tenda, menyiapkan makan malam, membuat perapian.

Malam itu di pinggir Rano Moana, ada banyak kisah yang terungkap. Kami mempunyai teman baru. Mereka adalah para pekerja penanam pohon pinus untuk reboisasi yang bekerjasama dengan sebuah CSR. Beberapa pekerja dan seorang mandor yang mengawasi penanaman, berbagi kisah tentang pekerjaan mereka, kehidupan, keluarga, semuanya bercampur aduk diantara sup kentang dan ayam panggang makan malam kami. Kebersahajaan para pekerja. Terutama visi anak-anak muda desa yang bercita-cita suatu saat nanti pohon-pohon pinus akan tumbuh subur dan mengelilingi Rano Moana. Itu mimpi yang kami amini bersama. Mereka berbagi kisah tempat itu. Kisah dua orang pemuda yang memasang jerat hewan di hutan-hutan sekitar danau, semuanya menjadi satu di bawah sinar bulan yang terang. Semuanya ada di tempat itu untuk satu tujuan; membela kehidupan, mengais rezeki untuk keluarga. Seorang dari mereka nyeletuk:

“Biar susah-susah kita tanam ini, nanti kita punya anak cucu yang akan nikmati nanti.”

Seorang lagi menambahkan dengan dialek Manado yang kental: “Iyo. Nanti kita pe cucu bilang, Oh ini kita pe Opa dulu yang da tanam.”

Lalu mereka bertanya kepada kami:

“Lantas, apa yang kamu cari di tempat ini?”

Tak ada definisi yang cukup detail untuk menjawab pertanyaan itu. Masing-masing orang punya jawaban tentang hal tersebut. Mengisi jiwa dengan hal-hal luar biasa sebagaimana yang menuntun Monet melukis di atas kanvas. Bertemu dengan orang-orang baru dalam setiap perjalanan di tempat yang baru. Mendengarkan kisah setiap orang, lalu tidur di bawah langit malam yang cerah sambil pelan-pelan melepas doa.

Rano Moana atau danau beranak, mungkin dinamai demikian karena terdapat tiga lokasi danau yang berdekatan, dengan satu danau yang lebih besar dibandingkan keduanya. Kata para pekerja disitu, jika musim hujan, dua danau akan menyatu dan airnya naik sampai ke pinggiran bukit. Danau yang satunya lagi terpisah oleh bukit. Akan sangat indah membayangkan jika nanti pohon-pohon pinus yang mereka tanami tumbuh menjadi besar, dan mengelilingi dua danau yang menyatu. “Semoga saja tak ada manusia serakah yang datang, lalu membakar padang rumput.” kata sang mandor.

Rano Moana. Photo by: Benny Sane

Dalam perjalanan pulang, di bawah teriknya matahari, kami melihat para pekerja menanam pohon pinus. Angin yang cukup kencang membuat suara-suara berdesing pada daun-daun pinus, seperti nyanyian dari lembah. Dari kejauahan kami melihat, mereka sedang menanam harapan. Menanam harapan semua orang, menanam bibit mimpi yang kelak akan dipanen anak cucu mereka nanti.

photo by: Benny Sane

26 Oktober 2021

-Agung Poku-

Ode Untuk September ke November

#1

Ada banyak ketakutan yang kita hadapi

Ketakutan-ketakutan yang muncul secara tiba-tiba

Seperti kamu

Aku takut, kau tinggal disini

Jika suatu waktu tak lagi

Aku takut memandang matamu

Jika suatu waktu tak lagi

Aku takut menyentuh rambutmu

Jika suatu waktu tak lagi

Aku takut kau sandarkan dagumu di daguku

Jika suatu waktu tak lagi

Jika suatu waktu tak pernah ada,

itu yang paling aku takuti

Bagaimana jika kau tak pernah ada?

Bagaimana jadinya hidup ini tanpa ketakutan?



#2

Setelah hujan reda di jalanan yang beku, kau sandarkan dagumu di bahuku, dan berkata:

“Kamu adalah aku.”

Kau peluk rapat dadaku.

Aku didalam jiwamu.

Unjung rambutmu menyentuh hidungku dan kau berkata akan memberi segalanya.

Lalu kau menangis.

Kau menangis di leherku,

memohon agar aku tak menghukummu.

Aku tak pernah berhasil, atau memang ditakdirkan untuk memahat hati,

lalu diberikan pada yang lain.

Kesepian adalah jalanku.

Kesepian adalah hakikat.

Pada akhirnya, kita tak akan pernah mengeluh pada sepi.

Sebab sepi adalah malaikat.

______, dalam keteguhan batinku,

aku sepenuhnya _________mu

______ matamu yang kekanak-kanakan saat kau memohon agar aku tak mabuk malam ini.

______, sesungguhnya langitku adalah tempat pelangimu.

Sakit kepalamu

Kelesuan tulangmu.

Kau mencintai hidup,

ketakpastian pikiranku.

Kau tak pernah menyesal.

Kebekuan-kebekuanku dalam batinku.

Sukmamu menjadi panas

dan katakan bagaimana harusnya aku menjadi sehari tanpamu.

_____, betapa kebisuanku adalah jawaban segala pertanyaanmu.

_____, aku merindukanmu.



#3

Berapa banyak yang kita serahkan pada takdir?

Kita selalu menyerah dan selalu berkata:

“Semuanya wajar terjadi.”

Sedang kita memberontak di dalam hati,

dalam sepi yang gelap.

Kita menangis dan menyerah.

Betapa cinta menjaga keseharian kita yang laknat.

Kita saling memberi,

tapi tak mampu melepaskan.

Tetapi,

Kerinduanmu adalah bulan.

Dan kekosonganku adalah matahari.



#4

Garis-garis panjang

Kita tumbuh

Dalam cahaya

Memperoleh sesuatu

Seperti kunang-kunang

di dalam gelap

Jiwa-jiwa kita tumbuh

dalam garis cahaya



#5

Langit menutup ________

tanpa setitik hujan.

Ada kebisuan dalam jarak, antara cahaya, langit dan tanah.

Debu-debu di jalanan, di telapak sepatumu, dan angin laut yang bertiup menuju daratan, jembatan, sungai-sungai yang kau lewati.

Di dalam dadamu angin itu bersemayam, di jari-jarimu, di pelipismu, di bibirmu, juga di alismu.

Dan dalam keseluruhannya, bayanganmu menjadi bayanganku. Sebab, kita berada di bawah matahari yang sama.

Suaramu di dalam tenggorokanku. Langit-langitmu, di lidahku, guratan-guratan di telapak tanganmu, jari-jariku.

Aku menulis puisi dengan sedikit bualan, sedang kau mengatasi bualan dengan keyakinan.

Aku menatap langit, sedang kau menghitung langkah.

Aku berkata takdir, kau meyakini kesempatan.

Orang-orang berkata bahwa manusia punya banyak peran

dan kita sedang berusaha mengumpulkan potongan-potongan kecil kertas yang berhamburan ditiup angin laut.

Menyatukan dalam dada kita dan mengaminkan.

Bahwa

Takdir selalu menemukan kesempatan untuk sesuatu hal terjadi.

KEJUJURAN

Sejak Risvel Pase bertunangan dengan Livi, orang-orang berkomentar bahwa mereka adalah pasangan yang berbahagia. Pasangan yang serasi, kompak dan sehati. Risvel Pase, seorang pemuda yang setia, merasa calon istrinya, kekasihnya itu, Livi, harus segera dinikahi. Dia cemas, seiring berjalannya waktu, Livi bakal berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Maka dengan ketetapan hati yang sungguh-sungguh, dia ingin segera menikahi Livi. Awalnya Livi menolak. Dia merasa mereka masih terlalu muda, dan lagi dia meyakinkan bahwa dia tidak mungkin berpaling pada lelaki lain. “Toh, kita sudah bertunangan.” Kata Livi pada kekasihnya. Dalam hati, Risvel setuju dengan Livi, tetapi dia sudah keburu ingin menikahi Livi karena banyak alasan. Meskipun alasan-alasan yang dikemukakannya banyak yang mengada-ada. Pasangan muda itu beradu pendapat. Livi merasa mereka belum cukup mapan untuk membina rumah tangga. Risvel dengan teguh meyakinkan bahwa dia akan selalu mampu menjadi suami yang baik. Mereka ribut dalam beberapa hari. Masing-masing dengan pendirian dan pemikiran. Pendeknya, mereka akhirnya menikah, karena Livi sudah hamil. Keluarga kedua pasangan itu mempercepat pernikahan anak mereka. Keluarga sangat cemas bakal dihujat oleh banyak orang, karena hamil diluar nikah merupakan suatu perkara besar yang memalukan!

            Risvel Pase merasa hidupnya benar-benar sempurnya sejak dia menikah. Dia merasa tak punya keinginan apa-apa lagi. Memiliki sebuah keluarga telah dirasainya lebih dari cukup. Apalagi mereka tengah menanti kelahiran anak pertama. Setiap hari, Risvel terus menjaga istrinya, memanjakannya layaknya seorang gadis kecil. Setiap malam sebelum mereka tidur, Risvel mengelus-elus perut istrinya dan bersenandung penuh bahagia. Livi yang sudah hamil tujuh bulan merasa begitu bahagia berada disamping suami yang begitu menyayanginya.

            Pada suatu malam, pasangan itu bersiap tidur. Dan seperti kebiasaannya setiap malam, Risvel mengelus-elus perut istrinya, sambil bernyanyi kecil menghibur istrinya yang terlihat kepayahan membawa perutnya yang besar. Dengan nada manja, Livi bertanya pada suaminya:

            “Sayang, badanku terlihat begitu gemuk. Setiap memandangi cermin, aku merasa mirip tetangga kita, si janda miskin yang malang itu. Benar-benar buruk, lemak bergelambir di leherku dan lipatan-lipatan kulitku seperti diolesi mentega. Gerah dan menjijikan.”

            Risvel menghentikan nyanyiannya. Dia mentap istrinya dengan tatapan tak senang penuh curiga.

            “Kan kau lagi hamil, sayang. Itu semua terjadi pada setiap perempuan yang sedang hamil. Masakan kau merisaukan hal sepele seperti itu. Jangan mengada-ada sayang” komentar si suami berusaha menenangkan. Tiba-tiba dia merasa curiga istrinya tengah mengidam lelaki lain. Maka dia menambahkan:

            “Jangan-jangan kau melirik lelaki lain, dan kau merasa mesti terlihat menarik. Apakah begitu sayang?”

            “Ah, jangan berprasangka buruk begitu. Aku hanya merasa penampilanku berubah. Sesuatu yang tak biasa kulihat. Kau benar-benar tidak dapat menangkap maksud hatiku, sayang. Aku tadinya berharap kau akan mengatakan bahwa aku tetap terlihat cantik dengan perutku yang besar ini.Kau tidak dapat membaca perasaan seorang perempuan.” Kata Livi kesal.

            Risvel merasa begitu terlihat bodoh di hadapan istrinya. Dia menyesal telah berprasangka buruk terhadap istrinya.

            “Maafkan aku, sayang. Aku benar-benar bodoh. Aku katakan sekarang, kau seperti gadis belia yang lincah, manisku. Merah pipimu seperti buah anggur yang segar. Aku ingin segera menciumnya.” Si suami memohon.

            “Terlambat, sayang. Kau benar-benar bodoh.” Kata Livi menggoda.

            Tangan Risvel melingkar pada perut istrinya. Mereka berciuman mesra hingga tertidur pulas.

            Selama menanti kelahiran anak pertama mereka, sepasang suami istri itu terlihat romantis. Hubungan mereka dibumbui godaan-godaan nakal seperti muda-mudi yang tengah pacaran.Risvel menganggap sifat manja istrinya itu timbul karena tengah mengidam. Hal itu telah didengarkannya dari teman-temannya yang sudah memiliki anak. Kata teman-temannya, ketika seorang istri tengah mengidam, dia ingin selalu dimanja dan diperlakukan seperti anak anjing. Selalu ingin dibelai-belai dan disanjung-sanjung. Risvel melakukan semua hal itu dengan penuh sukacita. Hubungan mereka semakin mesra dan terlihat menggemaskan bagi orang yang belum menikah. Kadang-kadang tetangga mendapati kedua pasangan itu tengah bermesraan di teras rumah, sambil terus melontarkan pujian satu sama lain. Pasangan yang diberkati, kata orang-orang pada pasangan suami istri itu.

            Anak pertama mereka lahir dengan sehat. Bayi mungil dan lucu itu sangat mirip ibunya. Hidungnya, matanya, dan garis-garis wajah bayi itu tak lepas dari wajah ibunya. Hingga terlontar sebuah candaan dari mulut Livi.

            “Anak ini hanya anakku seorang. Dia begitu mirip dengan wajahku.”

            “Ya, dia akan mewarisi ketampananku. Dia kelak menjadi lelaki yang tampan seperti ayahnya.” Balas Risvel tak mau kalah.

            “Dia berhati lembut seperti ibunya.” Kata Livi lagi.

            Dengan sangat bernafsu, Risvel membalas lagi:

            “Dia akan memacari banyak perempuan karena dia lelaki yang tampan. Digilai banyak perempuan.”

            “Tidak bisa begitu. Dia harus bermoral baik.” Bantah Livi dengan nada keras.

            “Lelaki bermoral terlalu banyak disakiti perempuan. Mereka itu korban perempuan. Dia tak boleh percaya pada mulut manis.” Balas Risvel penuh keyakinan.

            “Apa katamu, sayang?” tanya Livi pasrah.

            Setelah anak mereka berusia tiga tahun, hubungan mesra Risvel dan Livi sebagai pasangan suami istri mulai merenggang. Mereka terlihat sering terlibat percekcokan. Adu mulut mewarnai keseharian mereka. Pemikiran mereka sering tidak sepaham. Risvel yang merasa sebagai kepala keluarga bersikeras istrinya harus mengikuti keinginannya. Tetapi Livi tidak setuju. Ego mereka semakin nampak. Mereka terlibat keributan pada hal-hal sepele, seperti letak tempat tidur yang benar, perabotan yang pantas dipajang di lemari ruang tamu, makanan apa yang harus dihidangkan pada hari-hari besar. Risvel sering melarang istrinya untuk berdandan. Menurutnya banyak lelaki diluar sana yang sering menggoda istri orang. Livi membalasnya dengan pernyataan yang sama.

            Sifat cemburu Risvel yang sama sekali tidak nampak ketika mereka masih pacaran, sekarang terlihat nyata, bahkan sangat berlebihan, sehingga membuat Livi bosan dengan hal itu. Livi pun begitu. Sifatnya yang pemarah lebih sering terasah ketika mereka terlibat pertengkaran. Keadaan keuangan yang merosot menjadi senjata Livi untuk membentak suaminya. Menurutnya, suaminya itu tidak becus dalam mengusahakan pendapatan keluarga. Usaha yang dibangun Risvel lebih sering gagal karena istrinya selalu tidak menyetujui tindakannya. Hingga sampai suatu saat dimana kedua pasangan itu benar-benar lelah menghadapi keadaan rumah tangga.

            Suatu hari, Risvel mempunyai sebuah ide untuk meredam ketakharmonisan hubungan mereka. Diajaknya istrinya untuk liburan disuatu tempat yang teduh dan nyaman, dimana mereka dapat mengingat kembali masa-masa kemesraan mereka yang kini menjadi hal yang langka. Livi pun setuju dengan ajakan suaminya. Menurutnya itu merupakan tindakan yang bijak.

            “Menurutku kita harus pergi ke suatu tempat yang nyaman, untuk membenahi diri kita masing-masing. Kau dan aku, sayang.” Kata Risvel pada istrinya.

            “Itu benar, sayang. Kita kekurangan hiburan. Aku merasa lelah di sini.” Kata Livi menyetujui ajakan suaminya.

            Pada akhir pekan, kedua pasangan itu pergi menuju suatu tempat yang dirahasiakan. Anak mereka dititipkan pada keluarga Livi. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah villa yang terletak di pinggir pantai. Villa itu milik teman Risvel, seorang pengusaha yang baik hati. Villa yang cukup mewah itu terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Dari villa itu mereka dapat melihat hamparan laut yang biru dan pasir putih yang bersih. Suasana yang sangat sejuk di pagi hari, mereka dapat memandangi matahari terbit di balik tebing-tebing raksasa. Di tempat itu mereka menghabiskan akhir pekan dengan hati yang longgar. Mereka biasanya duduk-duduk di balkon sambil menikmati lautan yang teduh. Pada suatu sore, setelah mereka bercinta dengan sangat mesra di balik tebing, kedua pasangan itu naik ke balkon dan duduk bersebelahan, sambil menunggu matahari terbenam.

            “Sayang, aku benar-benar menyesal telah banyak mengecewakanmu dalam kehidupan rumah tangga kita yang masih pendek ini.” Risvel membuka suara.

            “Aku pun begitu, sayang. Kita telah banyak melalui banyak hal. Di tempat ini aku menyadari betapa kau begitu berarti dalam diriku.” Kata Livi sambil terus menatapi matahari yang mulai berubah warnanya di langit jingga.

            “Itu alasannya aku mengajakmu ke tempat ini. Aku rasa kita harus mulai jujur terhadap diri masing-masing. Aku akan mengakui segala kesalahan yang telah ku lakukan padamu.” Risvel bersuara sedikit gemetar. Livi memandang suaminya penuh pertanyaan.

            “Apa itu, sayang?” tanya Livi.

            “Dua bulan yang lalu, aku telah berselingkuh dengan seorang perempuan pemilik toko roti langganan kita.” Terang Risvel membuat pengakuan dengan penuh rasa sesal.

            “Kau gila, Risvel! Aku kenal betul perempuan itu. Dia perempuan baik-baik.” Bentak Livi seakan tak percaya dengan pengakuan suaminya.

            “Setiap hari aku bertemu perempuan itu di tokonya. Dia mampu mencairkan kekacauan hatiku ketika bertengkar denganmu di rumah. Aku benar-benar menyadari hal itu. Tapi kau jangan menyalahkan perempuan itu. Dia hanya menghiburku. Tetapi sekarang aku tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan perempuan itu.”

            “Jangan katakan bahwa kau pernah tidur seranjang dengan perempuan itu, Risvel?” tanya Livi mendesak.

            Risvel mengangguk pasrah di samping istrinya. Livi menghentakkan tubuhnya ke sandaran kursi.

            “Gila! Kau benar-benar sudah gila.” Teriak Livi.

            Risvel merasa ditelanjangi. Dia benar-benar malu. Tapi niatnya untuk mengatakan sejujurnya kesalahannya di hadapan istrinya, sudah direncanakan sejak mereka tiba di tempat itu. Risvel merasa menyesal, dan dia sudah bertekad untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Dalam hatinya sudah ditetapkan, bahwa dia ingin membahagiakan istri dan anaknya. Dia teringat janjinya pada Livi. Dia akan menjadi suami yang baik. Tapi dia masih mempunyai pengakuan yang lain. Dia akan mengatakannya dengan jujur di hadapan istrinya. Tak ada lagi rahasia antara mereka.

            “Sayang, aku juga yang meminjamkan tabungan kita pada perempuan itu, saat toko rotinya bangkrut. Aku telah mendustaimu. Maafkan. Tapi dia berjanji akan segera menggantinya secepatnya.”

            Livi terhenyak.           

            “Jangan-jangan kau sudah diguna-guna oleh perempuan itu. Aku tidak pernah berpikir kau akan melakukan hal itu. Aku benar-benar yakin, kau telah dimantrai oleh perempuan sundal itu.”

            “Jangan berkata seperti itu. Perempuan itu sama sekali tidak bersalah. Akulah yang bersalah. Jangan pernah mengatai dia seperti itu.” Bantah Risvel.

            “Oh! Jadi kau membelanya.” Bentak Livi.

            “Jangan mulai lagi, sayang. Aku hanya berkata jujur kepadamu. Sekarang kau tahu semuanya. Tidak ada lagi rahasia yang kusembunyikan darimu. Ku harap dengan pengkuan ini, hubungan kita di rumah nanti akan kembali harmonis.” Risvel memberi penjelasan.

            Livi kembali terdiam. Bibirnya gemetar. Bahunya naik turun. Tiba-tiba tangisnya pecah. Livi menangis sejadinya. Dengan kedua tangannya, Livi menutup mukanya erat-erat. Air mata mengalir dari sela jari-jarinya. Risvel segera memeluknya, berusaha menenangkannya dengan menghujaninya ciuman di kepala.

            “Maafkan aku, sayang…” kalimat itu terus dibisikan Risvel di telinga Livi, berkali-kali hingga tangis Livi mereda, dan berkata:

            “Bukan. Bukan itu, sayang. Aku juga akan membuat pengakuan.”

            “Baiklah, sayang. Tapi tenangkan dulu dirimu.”

            Risvel berharap cemas menunggu istrinya membuat pengakuan. Dalam hatinya dia berjanji akan memaafkan kesalahan istrinya, seperti dirinya yang telah melakukan kesalahan.

            “Sayang, aku akan mengaku. Sejujurnya…” kalimat Livi terpotong. Dia tak kuasa menahan sedu-sedan. Air matanya mengucur deras.

            “Katakanlah, sayang. Aku akan memaafkanmu.” Kata Risvel berusaha menenangkan.

            “Sejujurnya, aku pernah tidur dengan lelaki lain pada masa pertunangan kita.” Kata Livi gemetar.

            Risvel terhenyak, seakan tak percaya. Dia berusaha menenangkan diri.

            “Baiklah, sayang.” Jawab Risvel pasrah.

            “Tapi sayang, supaya kau tahu, anak kita lebih mirip lelaki itu. Wajah anak itu membuatku selalu dihantui bayang-bayang lelaki bajingan itu.”

            Risvel berdiri dengan lutut gemetar. Tubuhnya dibasahi keringat. Napasnya megap-megap. Dia benar-benar tidak dapat menguasai dirinya.

            Di balik tebing-tebing raksasa, matahari sudah tak terlihat, hanya sinar-sinar yang ajaib membentuk gradasi di langit sebelah barat. Suatu warna seperti jingga abu-abu memantul di atas permukaan laut yang teduh.

Juli, 2021

Agung Poku

Canting Satu Dekade; Sekilas Tentang Para Konservatif

12 Februari 2021.

Canting merayakan satu dekade perjalanan. Aku menyebutnya perjalanan, karena aku pikir ini kata yang tepat untuk mendeskripsikan sebuah gerakan mula-mula yang kemudian bercabang, bernanak-pinak, hidup dan terus tumbuh pada individu-individu yang tetap memegang akar gerakan itu. Agak muskil memang untuk mempercayai bagaimana mungkin sebuah gerakan tanpa individu-individu yang bersamaan pada suatu tempat. Tapi seperti itulah. Bagi Canting, akar gerakan tidak (lagi) mesti dalam satu tempat dan keadaan yang sama. Tidak terlalu berlebihan, Canting mengkultuskan SEMANGAT sebagai akar dan pemicu berbagai gerakan oleh individu-individu di tempat-tempat yang terpisah: Keruwetan Dan Semangat.

Aku sedang ingin merayakan semangat Canting dengan cara membuka sekilas isi kepala mereka. Para konservatif itu, aku menyebutnya demikian yang secara kebetulan tahun ini menurut kalender Cina, 2021 adalah tahun Kerbau logam. Kerbau adalah simbol keuletan, kesuburan, yang dalam pertanian tenaganya digunakan untuk membajak tanah. Dalam adat dan tradisi di daerah-daerah, kerbau banyak dipergunakan dalam ritual-ritual pertanian, perkawinan dan komunikasi kepada Sang Pemberi Kesuburan. Dan dalam perayaan semangat ini, aku ingin sekilas menyebutkan mereka, yang menurutku para konservatif itu luar biasa.

Azis Abdul Ngashim

Ia menyebut dirinya miring. Ternyata itu memang benar. Ia seorang Ngapak, yang mengambil jurusan Geografi pada sebuah perguruan tinggi negeri di Jogja. Sejak mengenalnya, aku pikir ia memang miring. Jika menggambarkan sebuah sungai berarus deras, dimana orang-orang berjalan menyusuri pinggiran berbatu, ia malah meluncur deras di tengah-tengahnya meskipun kadang ia menjadi pesimis, lalu mencoba meraih bebatuan di pinggir sungai. Namun, ia tetap pada arus yang menurutnya menantang. Ia penulis yang baik. Setahuku ia beberapa kali memenangi lomba menulis artikel. Ia seorang tukang protes yang bersemangat. Semangatnya memprotes struktur, pemikiran, status quo yang acak-acakan dalam perkembangan hari-hari ini pada berbagai sudut. Agama, teknologi, bola, pers labil, UMKM bahkan kesehatan, ia protes dengan tulisan dan pemikiran yang segar. Ngashim, pemuda Ngapak ini, seingatku terakhir aku melihatnya Sholat diantara tumpukan buku di kamar kosnya yang pengap. Dari pemuda Ngapak ini, aku belajar bagaimana caranya tertawa ditengah keruwetan. Menurutku ia cocok menjadi redaktur.

Elisabeth Murni

Namanya mengingatkanku pada seorang wanita dalam cerita Alkitab, tatkala aku masih sekolah minggu. Di suatu Sabtu sore beberapa puluh tahun lalu, aku takzim mendengar cerita guru sekolah minggu tentang Elisabeth Sang Ibu Yohanes Pembaptis. Wanita saleh yang mengajarkan untuk tetap percaya tanpa melihat. Tetap percaya sampai mujizat terjadi. Elisabeth Murni, wanita periang dan pandai berkomunikasi. Boleh dibilang ia adalah juru bicara Canting. Ia seorang pendongeng yang menyenangkan. Anak-anak selalu terkesima dengan cerita-ceritanya. Beberapa kali dalam kegiatan bareng anak-anak, seingatku di pengungsian erupsi Merapi, ia mengajarkan kami bernyanyi dan menari bersama anak-anak. Harapan yang begitu tulus. Hampir setiap minggu di Ripungan kami bernyanyi dan menari bersama anak-anak dibawah arahannya. Elisabeth Murni, ia cerdas dan pembawa senyum. Ia seorang penulis dan sudah menerbitkan bukunya sendiri. Jika suatu saat aku bertemu anaknya, Re, aku akan menceritakan betapa ibunya adalah seorang kawan periang yang mempunyai harapan tulus untuk semua orang. Tahun 2014, ketika aku berada bandara, hendak pulang kampung, ia menelponku untuk memastikan bahwa aku memang akan pulang ke Celebes untuk waktu yang lama. Sasha, begitu kami memanggilnya. Darinya aku belajar mengapresiasi perbuatan dan karya orang lain.

Hendra Arkan “Cakil”

Cakil layaknya garam pada suatu masakan. Ia seorang komedian pemecah kekakuan. Tingkahnya kocak namun penuh rasa hormat. Bakatnya beragam, mulai dari guru les matematika, pemain basket sampai tukang sketsa. Pertama kali aku bertemu Cakil, ku pikir dia seorang Lombok atau Madura. Perawakannya cukup tinggi, posturnya atletis, wajar karena ia seorang pemain basket. Dalam Canting, boleh dibilang ia seorang Rook/benteng. Ia selalu bergerak dari apa yang sudah ia yakini. Aku ingat betul, ketika untuk pertama kalinya kami mencoba memproduksi sebuah video dokumenter tentang anak-anak di Ripungan yang akan launching pada peresmian sanggar Studio Biru. Kami nginap di teras Mushala, dengan jadwal pengambilan gambar pagi-pagi sekali saat anak-anak bukit itu turun ke sekolah jalan kaki. Kami agak terlambat bangun dari jadwal yang sudah direncanakan. Ia mengguncang-guncangkan badanku sambil berkata: “paman… paman… tangi! Anak-anak sudah berangkat sekolah.”  Aku melompat bangun dan ia berkata: “Ayo!” Lalu kami terburu-buru mengejar anak-anak itu tanpa cuci muka atau menyikat gigi. Cakil, ia pemberi semangat pada setiap keadaan yang kami lalui dalam Canting. Darinya aku belajar tentang keuletan, semangat dan kepedulian.

Gugun “Tujuh” Junaedi

Mas Gugun, demikian kami memanggilnya. Manusia yang satu ini unik. Ia seperti patung Athena yang ditemukan di tengah keramaian metropolitan. Ia bisa menjadi apa saja di tempat apapun. Perwujudan dari isi kepalanya seperti potongan puzzle yang dihamburkan di atas meja belajar. Potongan-potongan itu sangat berharga, apalagi jika potongan-potongan itu menjadi sebuah rangkaian komplit yang berbentuk. Ia seorang pengagum Gie dan Kamen Rider. Aku kagum sekaligus heran, ia bisa mengenal banyak orang. Mungkin itu disebabkan karena serangkaian perjalanan sufi digitalnya. Aku pikir ia banyak berguru pada orang-orang hebat yang menjadikannya orang hebat. Pengagum kisah petualangan dan film yang kemudian ia ceritakan berulang-ulang kali dalam setiap karyanya. “Sinematografis banget, Gung!” itu kalimat yang selalu aku dengar darinya. Beberapa kali aku mencoba memahami kalimatnya itu, yang pada akhirnya ku ambil kesimpulan: setiap detil pergerakan, kata-kata dan seluruh apapun yang terjadi di kolong langit, mesti diceritakan berulang-ulang kali, berulang kali sampai setiap orang akan menceritakannya berulang kali lagi, seperti dirinya yang selalu menceritakan berulang kali bahwa angka tu7uh adalah angka keramat baginya. Berjubel ide dan kreatifitasnya mengantarkannya memenangi Eagle Award 2018 (Menulis Mimpi Di Atas Ombak). Mas Gugun, dari isi kepalanya aku belajar bagaimana menggunakan segenap kreatifitas untuk mewujudkan ide menjadi karya.

Sigit Prabowo

Pemuda Sumatera ini seorang psikolog yang hobi bersepeda, naik gunung, nonton bola, badminton, futsal, sampai jadi relawan pengantar buku. Sigit memberikan keceriaan pada Canting. Dalam Balada Centhingsari yang ditulis berbalasan, Sigit masuk dalam geng Pandawa. Ia memang cukup usil sesuai karakternya dalam cerita tersebut. Kami melakukan petualangan bersama, menjadi volunteer, penghibur dalam tenda-tenda pengungsian. Hidupnya penuh keceriaan.

Mesha Christina

Gadis Jawa tulen ini orang yang ramah layaknya gambaran gadis Jawa pada umumnya. Tutur katanya lemah-lembut bak seorang penembang macapat ditengah malam bulan purnama. Tapi dibalik keluwesan itu, Mesha seorang penyuka sepak bola. Seingatku, ia penggemar berat Arsenal. Sepertinya ia mengikuti perkembangan dunia persepakbolaan. Menjadi pengamat dan seorang fans yang tertib. Aku sering menanyai Mesha arti beberapa kata dalam Krama Inggil. Tahun 2010 ketika terjadi erupsi Merapi, Canting turun ke tenda-tenda pengungsian mengadakan kegiatan trauma healing untuk anak-anak pengungsi. Mesha ikut dan menjadi bagian yang menyenangkan ketika kami bermain ular-ularan bersama anak-anak di tenda-tenda pengungsian. Ia senang memotret langit dan beragam jajanan pasar khas Jogja. Bertumbuh ditengah budaya yang kental, suasana yang ramah khas Jogja, Mesha terbentuk menjadi pribadi yang Njawani. Dari semuanya itu mengajarkan padaku tentang penghormatan pada tradisi, sikap hormat kepada alam dan menundukan kepala pada hal-hal yang tulen.

Yuladi Zula

Kami menjulukinya Bapak Kepala Sekolah. Yula, pemuda asli Bantul yang menjadi andalan kami dalam petualangan-petualangan. Ia bisa menjadi juru masak dan penunjuk jalan. Dalam beberapa petualangan kami di sepanjang pantai selatan, sering kami kehilangan arah dan cukup kebingungan karena tebing-tebing karang menutupi pandangan kami. Tapi seperti yang sudah ku katakan tadi, Yula selalu bisa diandalkan. “Jalan saja.” katanya, dan kami selalu menemukan jalan seperti katanya. Ia menyukai petualangan, ular dan budaya. Seingatku, ia bekerja di Tembi Rumah Budaya Jogja. Pernah sekali saat kami bersenang-senang menyusuri pantai-pantai Gunung Kidul, Yula, pemuda ini mengenakan setelan batik. Mungkin ia buru-buru pulang kerja dan langsung menyusul rombongan atau memang ia cukup nyaman mengenakan batik dalam petualangan. Tapi Yula memang tidak berubah. Ia giat, penuh semangat membangun apa saja yang menurutnya baik. Aku simpatik kepada pemuda ini. Ia begitu giat dan berani.

Ahmad Amrullah

Ulla, panggilan akrabnya. Kami sama-sama berasal dari bumi Celebes. Karakteristik pemuda-pemuda dari selatan Sulawesi ada pada Ulla; berani, kritis, berbuat. Kawan-kawan Canting sering mengatakan suatu saat nanti ia akan menjadi Gubernur Sulsel. Amin. Dunia petualangan dan hukum adalah jalannya. Pemuda dari selatan Celebes ini merupakan jebolan salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia seorang magister hukum dan pendaki gunung. Kami berdua melengkapi kepingan puzzle Canting. Puzzle dari timur Indonesia. Ide-idenya segar dan luas seperti lautan biru yang ditempuh nenek moyangnya dahulu. Aku pikir ia bisa menjadi andalan dimanapun ia berada sekarang. Cerdas dan pemberani. Ewako!

Ika Maria

Cerdas, cekatan, sana-sini, hilir mudik, lompat, nekat, itulah Ika Maria, si gadis dari Lampung. Pariyem, dia menyebut dirinya dengan nama itu. Petualang dan tukang dongeng. Naik motor pitung, jalan kaki, sepeda, membawanya ke banyak tempat. Ia punya banyak pengalaman dan kisah dari setiap petualangannya. Anak ini tidak takut dengan hal baru, bahkan kadang menurutku ia cukup ceroboh dengan sikap nekatnya itu. Tapi itulah Ika. Selalu mengikuti kata hatinya. Menceburkan dirinya dengan hal-hal yang tidak terduga, lalu ia muncul seperti balon udara. Aku pernah mendengar kisahnya yang ia sebut rumah. Tapi nampaknya rumah baginya bukanlah bangunan yang memiliki dapur atau kamar tidur. Rumah baginya adalah kata hatinya. Ia bisa tinggal dimana saja. Suatu ketika, ia memiliki kembaran. Faa, yang sedang melihat dari kejauhan atau mungkin dari dekat sekali. Mereka seirama dan beriringan dalam keberanian untuk melihat hal-hal baru. Namun, Faa sudah menjalani petualangannya pada kisah yang berbeda. Gadis Lampung ini mengajarkanku untuk selalu berani lalu keluar untuk melihat hal-hal baru.   

Muhayat

Pak Ustad. Panggilan itu memang cocok untuknya. Kadang juga kami memanggilnya mas Mumu. Diantara liarnya ide dan kelakuan anak-anak Canting, mas Mumu yang paling kalem. Sambil menghisap rokok dan meyilangkan kakinya, ia berbicara dengan posisi tengah layaknya seorang bapak yang tengah memberi petuah pada anak-anaknya. Jika dalam kerasnya badai kami mencoba berlindung, mas Mumu orang yang terlebih dahulu membaca doa dalam hatinya. Ketika kami berangkat ke Lampung, hendak menuju pulau Tegal, mas Mumu dan keluarganya menerima kami dengan tangan terbuka. Satu hal yang aku ingat betul sampai detik ini, bagaimana keluarganya menyiapkan kami makanan dan menyuruh kami makan duluan. Setelah itu mereka makan belakangan. Aku tak tahu. Saat itu ada hal yang tidak bisa ku ungkapkan secara jelas. Tetapi yang pasti aku menaruh rasa hormat kepada keluarganya. Ketulusan, rasa hormat, persaudaraan. Aku melihat hal itu di Lampung. Di rumah Pak Ustad.

Rina Tri Lestari

Orang ini muncul tiba-tiba dari balik sarung kotak-kotaknya. Kami tak tahu siapa yang mengutusnya dari Surabaya ke Jogja. Mungkinkah ia termasuk anggota tim pencari kitab suci? Tak ada yang tahu pasti. Ia membawa rasa pedas kedalam Canting. Jika Cakil adalah garam, maka Rina adalah cabe. Menurutku dari pedasnya itu, ia menjadi produktif. Entah buku keberapa yang sudah ia terbitkan. Ia menulis dengan gayanya sendiri: blak-blakan, frontal, penuh humor. Jika aku seorang jendral, maka ku pikir ia cocok dikirim ke garis terdepan dalam perang. Musuh tidak akan menduga serangan apa yang akan dipakainya. Nampaknya jeans dan kaos oblong sangat nyaman baginya. Namun belakangan ini ku lihat ia sering mengenakan rok atau bahkan kebaya. Itulah mengapa aku bertanya, sesungguhnya orang ini diutus oleh siapa ke Jogja. Entahlah. Tapi yang pasti, Rina membawa semangat yang baru kedalam Canting. Menggebu. Lalu ia membakar!

Aziz Safa

Mas Aziz diukir dari batu pualam. Dalam sebuah kerajaan, ia berposisi sebagai penasihat raja. Ia sering terlihat makan siang bersama raja, tapi ia juga sering duduk bersama pengurus kuda di kandang ternak. Mas Aziz pemberi semangat. Ia seperti penjaga nyala lilin ketika anak-anak nakal itu pergi ngepet. Apapun julukanku untuk Mas Aziz, ku rasa ia adalah mentorku. Ia tak perlu berbicara panjang lebar. Ia lebih senang tertawa sambil terus meniup api kedalam dada kami.    

Lina Sophy

Guru dan inspirator dari Cilacap. Mbak Lina Sophy. Mungkin ia dapat membaca, menulis dan  mengajar pada saat bersamaan, atau membuat craft bersama anaknya yang lucu. Menurutku satu hal yang membedakannya dari yang lain adalah sikap gelisahnya. Pertama kali aku melihat Mbak Lina, ku pikir wanita berjilbab ini cocok jadi pemimpin. Sepertinya ia dapat menata sesuatu menjadi lebih rapi, seperti Aristoteles yang membagi-bagi jenis. Manajemennya baik. Dapat diandalkan untuk sebuah inovasi yang berkelanjutan.

Tosse Wibowo

Anak muda dari Palembang. Mas Tosse. Bisa dibilang dia ketua Canting, meskipun Canting memang tak pernah punya seorang ketua. Entrepreneur yang berbakat. Sepertinya, ia dapat berpikir sangat cepat dengan kalkulasi yang tepat. Mas Tosse, seorang tipe penggerak yang humble. Meskipun kadang kami menjulukinya ababil, mungkin itu dikarenakan sifatnya yang amat santai. Ia membangun jaringan, mengorkestrasi, mengalir dan membuat semuanya nampak jadi lebih mudah. Kafenya (Greenz) menjadi basecamp Canting. Di tempat itu kami membahas apa saja. Gerakan, petualangan, relawan, diskusi, buku, tulisan, bola atau sekedar main kartu. Semuanya dimulai dari Greenz Mas Tosse. Menurutku, satu hal yang membuat Mas Tosse nampak menjadi begitu santai menjalani hidupnya adalah keberaniannya mengambil risiko. Apapun itu, semuanya terlihat begitu mudah, santai dan intim. Mungkin ia ingin berkata: “Let it flow, bro!”

Dedy

Dedy memberi warna yang berbeda. Ia penuh semangat. Hidupnya penuh gairah dan tekadnya pada hal-hal kecil yang berarti. Dalam film dokumenter “Anak-anak Hebat di Pulau Tegal” yang diproduksi Canting tahun 2011, Dedy menceritakan pengalamannya berkunjung ke pulau Tegal, Lampung. Ia nampak bersemangat sambil berusaha menahan haru tentang harapannya pada anak-anak di pulau itu. Ia memberi warna pada Canting. Hal-hal kecil yang yang diyakininya akan menjadi besar.

Agnes “Unyil”

Agnes yang termuda dalam Canting. Kami memanggilnya Unyil. Ia lebih banyak mendengar dan sedikit berbicara. Semangat dan keceriaannya selalu nampak ketika kami bermain bersama anak-anak di Studio Biru. Kakak tertuanya adalah Cakil, meskipun kakak aslinya adalah Mesha. Setahuku ia suka sepak bola dan menjadi fans Chelsea FC. Aku tak tahu apakah hal itu memang kesenangannya, atau dipaksa kakaknya agar punya teman berdebat soal sepak bola.

Canting mengukir sejarahnya sendiri dengan caranya sendiri. Satu hal yang aku syukuri adalah bertemu mereka. Satu dekade terlewati. Orang-orang itu ditempah oleh kewarasan. Menjadi penggerak di banyak tempat dengan semangat yang masih tetap sama. Memelihara kewarasan dan melihat lebih jernih jauh kedalam hidup yang tak pernah disangka begitu semarak. Canting adalah semangat. Bergerak dan terus bergerak. Daya hidup yang terus tumbuh dalam dada kita. Dimanapun kalian berada, kalian tetaplah Canting.

Dirgahayu Canting!