Rasanya seperti bertualang ke dalam lukisan Monet. Meliuk-liuk di dalam kanvas, udara yang terbuka, cerah dan bersih. Padang rumput luas yang dilihat dari kejauhan, nampak seperti cahaya yang membentuk bidang-bidang kontras: pohon, rumput, langit, sapi, jalan terjal kering dan tropis. Itu adalah padang terbuka ketika kami hendak menuju Danau Beranak, atau dalam bahasa setempat disebut Rano Moana. Berbekal petunjuk singkat dari orang-orang yang kami jumpai di perkebunan sawit, dan tentunya google maps pada ponsel, kami meraba-raba arah menuju Rano Moana. Informasi tentang danau Moana memang sangat terbatas, hanya sebatas cerita-cerita yang tidak detail. Di pos penjagaan perkebunan sawit, seorang satpam dengan dahi mengernyit, dengan ragubertanya:
“Siapa mata jalan ke sana?”
“Google maps!” jawab seorang kawan sambil mengacungkan ponselnya.
“Pokoknya kamu ke kanan terus. Selalu ambil arah kanan” Pesan seseorang yang mengantar kami sampai di ujung jalan.
Satpam di pos penjagaan sempat memberi informasi bahwa kendaraan yang kami bawa mungkin akan kepayahan menembus jalan ke danau. Kami menjadi maklum setelah sampai di ujung jalan. Dua motor bebek standar dan satu motor matic yang kami kendarai memang cukup kepayahan. Jalan yang terjal berbatu, dan pada beberapa tempat sangat becek karena ditutupi hutan kecil yang lembab. Kami melewatinya dengan tekad dan tenaga. Padang rumput terbuka di bawah sinar matahari yang cukup menyengat, membuat angin leluasa bergerak dan sedikit membawa wangi khas pohon pinus. Suara-suara burung Rangkong terdengar dari kejauhan. Sejenak saya teringat, setiap kali pulang ke kampung Papaku, di Lore, dari atas lembah menyeruak wangi hutan pinus yang membawa imaji pada moyang dan kebersahajaan orang-orang tua. Aroma khas suatu tempat seringkali membawa kita pada mommen-momen yang pendek.
Kurang lebih tiga jam menempuh perjalanan, tak seorangpun yang kami jumpai. Hanya sapi-sapi di padang rumput yang terlihat malas karena kekenyangan, membuat kami yakin bahwa kami berada pada jalur yang benar. Kami mendaki senja. Bulan di atas tampak lebih besar, sangat cerah, sebentar lagi purnama. Kami memacu motor mendaki jalan terjal dan berlubang-lubang. Akar-akar pohon pinus seringkali membuat ban motor terpeleset, namun dengan sigap kami bertiga saling topang. Hari mulai gelap, dan dari kejauhan ada tanda-tanda manusia. Di puncak bukit nampak bayangan orang yang memberi kode dari lampu senternya. Gas dipacu dan mendekati arah cahaya senter. Dua orang pemuda mendekati kami dengan ragu.
“Mau kemana ini?” tanya seorang dari mereka.
“Ke Rano Moana.”
“Ohh… Terus saja. Nanti kelihatan itu. Sudah dekat kok. Tidak jauh.” Ia memberi penjelasan dengan nada suara yang lega. Mungkin setelah menganalisa bahwa kami bukanlah orang yang mencurigakan.
Ia menambahkan: “Nanti kami juga mau kesitu. kami juga bermalam disitu.”
Cahaya bulan yang keperakan memantul di atas permukaan air. Bayang-bayang sinarnya yang berkilau menuntun kami menuruni bukit. Memasang tenda, menyiapkan makan malam, membuat perapian.
Malam itu di pinggir Rano Moana, ada banyak kisah yang terungkap. Kami mempunyai teman baru. Mereka adalah para pekerja penanam pohon pinus untuk reboisasi yang bekerjasama dengan sebuah CSR. Beberapa pekerja dan seorang mandor yang mengawasi penanaman, berbagi kisah tentang pekerjaan mereka, kehidupan, keluarga, semuanya bercampur aduk diantara sup kentang dan ayam panggang makan malam kami. Kebersahajaan para pekerja. Terutama visi anak-anak muda desa yang bercita-cita suatu saat nanti pohon-pohon pinus akan tumbuh subur dan mengelilingi Rano Moana. Itu mimpi yang kami amini bersama. Mereka berbagi kisah tempat itu. Kisah dua orang pemuda yang memasang jerat hewan di hutan-hutan sekitar danau, semuanya menjadi satu di bawah sinar bulan yang terang. Semuanya ada di tempat itu untuk satu tujuan; membela kehidupan, mengais rezeki untuk keluarga. Seorang dari mereka nyeletuk:
“Biar susah-susah kita tanam ini, nanti kita punya anak cucu yang akan nikmati nanti.”
Seorang lagi menambahkan dengan dialek Manado yang kental: “Iyo. Nanti kita pe cucu bilang, Oh ini kita pe Opa dulu yang da tanam.”
Lalu mereka bertanya kepada kami:
“Lantas, apa yang kamu cari di tempat ini?”
Tak ada definisi yang cukup detail untuk menjawab pertanyaan itu. Masing-masing orang punya jawaban tentang hal tersebut. Mengisi jiwa dengan hal-hal luar biasa sebagaimana yang menuntun Monet melukis di atas kanvas. Bertemu dengan orang-orang baru dalam setiap perjalanan di tempat yang baru. Mendengarkan kisah setiap orang, lalu tidur di bawah langit malam yang cerah sambil pelan-pelan melepas doa.
Rano Moana atau danau beranak, mungkin dinamai demikian karena terdapat tiga lokasi danau yang berdekatan, dengan satu danau yang lebih besar dibandingkan keduanya. Kata para pekerja disitu, jika musim hujan, dua danau akan menyatu dan airnya naik sampai ke pinggiran bukit. Danau yang satunya lagi terpisah oleh bukit. Akan sangat indah membayangkan jika nanti pohon-pohon pinus yang mereka tanami tumbuh menjadi besar, dan mengelilingi dua danau yang menyatu. “Semoga saja tak ada manusia serakah yang datang, lalu membakar padang rumput.” kata sang mandor.
Dalam perjalanan pulang, di bawah teriknya matahari, kami melihat para pekerja menanam pohon pinus. Angin yang cukup kencang membuat suara-suara berdesing pada daun-daun pinus, seperti nyanyian dari lembah. Dari kejauahan kami melihat, mereka sedang menanam harapan. Menanam harapan semua orang, menanam bibit mimpi yang kelak akan dipanen anak cucu mereka nanti.
photo by: Benny Sane
26 Oktober 2021
-Agung Poku-